19 Juni 2020

Karantina Mandiri dan Tahanan Rumah

Gambar. Sampul Buku Duo Wartawan Senior, terbitan Tempo Publishing

Sekitar pertengahan April lalu, kami pindah domisili ke Sumatera Barat. Menempuh perjalanan udara dan darat yang lebih menegangkan dari biasanya, karena kami bepergian di tengah suasana pandemi. Minim interaksi, bermasker rapat, hingga bersarung tangan ketat. Kami nyaris tak bicara pada siapa pun sepanjang perjalanan Jakarta-Padang kecuali dengan petugas-petugas yang berkepentingan mengecek dokumen atau petugas kesehatan di bandara yang mengecek suhu lalu meminta kami mengisi berlembar-lembar form data diri dan riwayat perjalanan.

Selain perjalanan itu, yang lebih menarik adalah cerita karantina mandiri kami selama 14 hari ketika tiba di Sumbar. Di tempat yang cukup asing ini, kami tiba-tiba terpaksa harus berdiam diri sepanjang hari di dalam rumah, makan dari jasa catering, dan mengikuti serangkaian prosedur sebagai pendatang dari luar daerah yakni melapor via telepon ke petugas kesehatan setempat dan wali nagari (setara kepala desa). Kesuntukan mengurung diri itu tiba-tiba menjadikanku teringat pada kisah Mochtar Lubis dalam buku berjudul Duo Wartawan Senior Tiga Zaman Indonesia: B.M. Diah & Mochtar Lubis terbitan Tempo Publishing. Dalam buku itu dikisahkan tentang Mochtar Lubis yang pernah menjadi tahanan rumah selama 4.5 tahun di masa pemerintah Soekarno, karena ia tak henti mengkritik pemerintah melalui koran yang dipimpinnya, Indonesia Raya. Koran tersebut memang masih boleh terbit, Mochtar Lubis juga masih rajin menulis tajuk rencana di dalamnya, berkat sang istri yang membawakan naskah itu ke kantor sementara ia tetap di rumah. Mochtar Lubis mengisahkan:

“Saya di jaga oleh dua CPM bersenjata penuh setiap hari. Bulan pertama, saya tidak boleh menerima tamu. Bulan berikutnya saya mulai bisa merayu para penjaga. Saya bercerita tentang alasan saya mengkritik Bung Karno. Akhirnya mereka mengerti kalau saya mau keluar rumah. “Pokoknya kami tutup mata deh, Pak..” kata mereka. Mereka percaya saya tak melarikan diri dan saya memang tak berencana melarikan diri ke mana-mana. Suatu hari, malah para penjaga CPM itu yang permisi mau pergi sebentar. “Pak, kalau letnan kontrol, tolong dong bilang kami di belakang. Kami mau ke Jakarta, cari duit..” mereka pun pergi. Ketika letnannya datang, saya bilang anak buahnya sedang di belakang. Pernah pula suatu malam, mereka minta izin pulang, “Pak, sudah dua minggu kami tidak tidur sama sekali, jadi minta pulang ya..”. Nah, karena itu para penjaga CPM tersebut bisa kompak dengan saya. Setelah tiga bulan, saya bilang, “Eh, sudah lama saya tidak nonton film. Nonton yuk..” Mereka mau dan katanya, “Tapi belakangan saja datangnya biar tidak kelihatan. Bapak terlalu dikenal orang, kalau ketahuan, kami yang susah”. Saya setuju. Maka saya menunggu di mobil sampai kira-kira penonton sudah masuk semua, lantas kedua CPM itu mengurus tiketnya di Globe Teater. Ternyata tidak pakai karcis karena ada tempat duduk gratis buat anggota pemadam kebakaran yang dapat dipakai. “Pak, kolonel mau nonton,” kata CPM itu pada manajer bioskop. “O, beres..”. Saya segera diantar ke dalam dan orang-orang memberi hormat pada saya. Saya menahan ketawa geli. Dulu, jabatan kolonel itu sangat tinggi. Begitulah kehidupan saya selama empat setengah tahun, sementara itu Indonesia Raya tetap beredar dan tetap laku.”.  

Haru tapi juga lucu. 4,5 tahun tentu bukan waktu yang singkat, di tambah Mochtar Lubis juga pernah menjadi tahanan sel beberapa kali salah satunya di Madiun. Jadi, tak ada apa-apanya jika kami melalui 14 hari sebagai “tahanan rumah” karena pandemi. Dahulu, para orang besar itu juga terpaksa menahan diri berbaur dengan dunia luar, demi menyelamatkan negeri ini. Dalam keadaan yang berbeda, namun cara yang hampir sama.



Lubuk Sikaping, 19 Juni 2020