30 Agustus 2013

rumah kardus

Mereka takkan bisa melihat kami disini
Tapi kami bisa dengan jelas melihat mereka, dan tempat tinggalnya yang memenuhi angkasa langit ibu kota.
Mereka mungkin hanya melihat kami sebuah jajaran rumah kardus, tak ada beda.
Tapi kami dengan mata telanjang mampu melihat mereka dan gemerlap lampu yang entah mengapa begitu terangnya.
Sesungguhnya ada berapa milyar orang disana, sehingga lampulampu begitu riuh bercahaya.
Sedang kami bertujuh sekeluarga hanya butuh 2 lampu 5 watt untuk hidup di malam gelap gulita.
Ah aku lagi lagi harus mendongak ke angkasa untuk lebih jelas mengamati lekuk demi lekuk yang maha sempurna dari sang empunya negara
Ya, aku bukan pemilik negara
Beberapa tetanggaku bahkan bilang kita disini hanya menumpang
Menumpang tanah negara yang sewaktu-waktu waktu itu tiba, maka tak perlu alat berat untuk meratakan rumah kami
Kan ini tak berat, hanya susunan kardus yang kami sebut rumah
Rumah kardus

29 Agustus 2013

#quotesoftheday

Dan jika kau biarkan dirimu mengalir seperti air, maka kau tak ada beda dengan sampah.
Terjang! Bongkar! Jadilah air yang besar! Air yang kuat.

Inilah dunia simbol. Ketika kau seolah disembah sujudi karena mahkota yang menghias batok kepalamu, bukan apa yang ada didalam situ.

BERSYUKURLAH UNTUK SETIAP HAL KECIL DALAM HIDUP KITA :)

Seharusnya yang perlu kita tau bukanlah kehidupan selebritis, tapi kehidupan wakil rakyat. Siapa mereka, bagaimana latar belakang keluarganya, bagaimana gaya hidupnya, kemana saja mereka pergi dan berkunjung, dan apa saja yang mereka lakukan untuk rakyat. Itu bisa menjadi media monitoring, sekaligus mengenal lebih dekat siapa orang yang kita sebut "wakil rakyat" itu/hamidah 29 agustus 2013/ pemilihan gubernur jatim.

belajar menghargai

Semua yang lama pernah menjadi baru.
Semua yang hina pada awalnya pernah dipuja.
Semua yang usang dulu pernah merasa mengkilat.
Semua yang lama pasti terlahir dari kebaruan.
Tak ada yang tiba tiba buruk.
Tak ada yang mendadak lawas. 
Cintailah sebagaimana ia menjadi baru,
Pujilah sebagaimana ia tak patut dicaci.
Jangan lupakan manis, walau kini telah menjadi sepah.
Setidaknya sepah tak berubah menjadi pahit.
Belajarlah menghargai.
Hamidah 29 agustus 2013/di tempat penambal ban memungut "bagiannya" dari Tuhan

8 Agustus 2013

Di ambang Pintu Perjuangan.


Entah kala itu tanggal berapa pertama kali kuinjakkan kaki ditanah basah desa kucur. Desa asri nan sejuk yang jauh dari hiruk pikuk kota. Basi mungkin menggambarkan setting desa subur seperti ini, namun takkan basi jika kau berkunjung sendiri. Sungguh, teramat benar, jika ada yang bilang “Indonesia adalah potongan surga yang jatuh ke Bumi” dan bahkan dengan melihat nuansa alami ini seolah-olah saja dulu surga pernah bocor dan menumpahkan  keindahan nya di tanah desa kucur.

Mobil biru itu berhenti dihalaman mungil masjid yang belum jadi. Aku mengernyitkan kening dan menyipitkan mata menyaksikan sekeliling. Terlalu sederhana. Bukan aku butuh mewah, tapi ini terlalu sederhana jika dibandingkan mushola-mushola mungil yang bertebaran di kota yang selama ini aku dan teman-teman tinggali. Kontras sekali. Bahkan mushola desa ini belum pula jadi. Temboknya masih berwarna abu-abu semen, hingga nyaris lumutan, entah.. mungkin karena terlalu lama tak segera disentuh cat.
Namun seketika lamunanku buyar, saat guru ku meminta aku dan beberapa orang teman yang ikut tinjau lokasi, untuk bergegas menjajari langkah beliau memasuki masjid. Disana sudah ada beberapa pria dewasa yang disebut ustad dan beberapa wanita dewasa pula yang disebut ustadzah. Kami berjalan perlahan-lahan, sedikit kikuk, kami dihujani tatapan oleh ustadz, ustdzah dan santri-santri kecil berwarna-warni bagai pelangi.
Berbagai corak, bajunya maksudku. Tapi kala itu aku merasa mereka semua kembar, muka mereka semua nyaris sama tak ada beda. Aku masih ingat betul itu, mereka melongo melihat muka-muka kami, dengan polos minim ekspresi, dan jika aku boleh menerka, maka kalimat inilah yang mungkin sedang berkeliling tawaf di benak mereka, “Siapa gerangan muda mudi datang dari dalam mobil biru itu? Asing sekali mereka, dengan tatapan nya yang mencoba bersahabat. Hendakkah mereka ikut mengaji bersama kami? Ah… mana mungkin, mereka sudah terlalu besar. Atau… mungkin benar, siapa tahu mereka belum bisa mengaji?” 

Dan jika itu pertanyaanya, maka kami akan menjawab, “Mungkin kami sudah bisa mengaji, namun kami belum bisa membaca. Kami sungguh belum bisa membaca hati-hati suci kalian, adik-adik. Kami belum bisa membaca tatapan kalian, kami sungguh buta akan bahasa tubuh kalian. Dan kini kami sedang mencoba, kami memulai nya dari sini, perjalanan dakwah dan perjuangan untuk mencerdaskan.”
Selamat datang di desa Kucur, untuk memulai langkah tegap perjuangan. Perjuangan ini bukan tentang seberapa pintar kalian, bukan seberapa hebat jurusan di perkuliahan, bukan seberapa banyak prestasi yang diraih, tapi setangguh apa kalian mampu menghadapi kemalasan, ketidakpedulian, dan seleksi alam.  
Innalallaha ma’ana.


-Hamidah Izzatu Laily for @CMCmalang

5 Agustus 2013

Diskusi dengan Tuhan

Setiap jengkal kehidupan,
Kita duduk satu meja berhadapan.
Tak saling pandang namun sungguh erat merasakan
Tuhan dan kita teramat dekat
Bahkan Tuhan lebih dekat dari urat nadimu sendiri.
Namun, Tuhan terkadang tak sependapat dengan kita
Argumen mu ditolak mentah-mentah.
Sampai sujud berurai air mata, ternyata lain keputusannya.
Mau membantah sang empunya perusahaan? Mana mungkin.
Kau bisa dapat SP, wahai bawahan.
Lanjutkan dulu diskusi mu di sepertiga malam,
kau mohon ini, Ia kabulkan itu
Kau minta begini, Ia takdirkan begitu.
Terkadang hendak mengeluh, namun kau coba tahan.
Terkadang mau marah, tapi….
Sungguh percayalah, pendapat Tuhan mutlak benar!


“Bersabarlah wahai hati, jangan menggebu-gebu dengan apa yang kau harapkan. Berusaha, berdoa, dan tawakkal. Jangan lupakan step terakhir, tawakkal! Tawakkaltu alallah! Percayalah, Allah punya rencana besar, yang lebih baik dari apa yang kau bayangkan” Hamidah/mengawali agustus 2013.