3 Mei 2017

Belajar Manajemen Waktu dengan Membaca "Menata Kala"

Waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi, namun semua urusan domestik di kos-kosan sudah rampung ku kerjakan. Masih ada 2,5 jam lagi menuju kelas pertama hari Kamis ini, kelas Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif. Aku putuskan berangkat saja ke kampus yang jaraknya hanya 2 kilometer dari kos ku. “Lebih baik segera beranjak dari ruang kecil 3x3 meter ini dan berangkat ke kampus, daripada virus malas lebih dulu lengket di mataku hingga membuat kantuk tak tertahan dan imaji mengubah kasur mungilku bak lautan kapas yang siap menenggelamkan dalam empuk dan hangat” pikirku panjang.

Kurekatkan tali tasku, dan kumantapkan langkah kaki.

15 menit kemudian aku sampai di ruang kelas yang masih gelap, rupanya tak ada kelas sebelum pukul 10, sehingga kelas masih belum digunakan sejak pagi. Kunyalakan lampu berikut pendingin ruangan, ya... kita akan selalu sepakat bahwa Jogja lebih “hangat” dari Malang. Itu jelas, hehe.
“Mmm...” aku merapatkan bibir sebentar sambil mengamati seisi tasku setelah sebelumnya aku memilih tempat duduk yang nyaman dan membuka tas. “Yang mana dulu ya?” aku tengah memilih beberapa buku yang kubawa, ada yang tebal berjudul Metode Penelitian Kuantitatif, yang agak tebal berjudul “The Political Economic of Communication” karya Vincent Mosco dan yang paling tipis berjudul “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains” karya Thomas Kuhn. Masih berpikir, namun sejenak setelah menggeser-geser isi tas, aku menemukan buku yang dari sampulnya saja sudah membuatku menjatuhkan pilihan dengan segera “Kubaca yang ini saja” bisikku sambil menarik buku berjudul “Menata Kala” karya Khairunnisa Sy dan Novie Ocktavianie. Jujur saja ini pertama kalinya aku membaca tulisan keduanya, dan kelak aku tau bahwa buku bersampul ungu muda itu memanglah buku pertama dari dua orang ini yang diterbitkan secara self publishing! “Menarik” gumamku. Tentu saja aku berani menyimpulkannya menjadi satu kata itu bahkan sebelum selesai membuka lembar kata pengantar, sebab membuat buku memanglah satu impian besarku dulu. Duluuuuu sekali, kala masih berseragam rok biru tua dan berlarian dengan wajah blaster. Ya, blaster kutekankan, bukan blasteran. Sebab anak SMP lebih suka main dibawah terik, sehingga bagian wajahku akan terlihat lebih hitam daripada bagian leher atau dekat telinga yang tertutup jilbab. Hahah! Masa itu... di masa blaster itu, aku punya mimpi besar seperti lahirnya buku dalam genggamanku ini. Namun kenapa aku kini merasa semakin kerdil, mungil, dan terus berusaha menyederhanakan mimpi-mimpi besarku dengan dalih “realistis”.

Aku buka Bab pertama, berjudul “Kala bersama diri sendiri”. Kurapatkan kakiku dan kubenahi posisi duduk agar lebih nyaman. Aku siap berselancar dalam lautan pemikiran kedua penulis ini, berenang ditengah ombak kata yang riuh rendah dan merebah diatas pasir nasihat yang hangat.


Bersambung...

2 Mei 2017

Mitos Merapi ‘Nyai Gadung Melati’



Masih di lokasi yang sama yakni Museum Gunung Merapi, aku menemukan gambar ini, lengkap dengan keterangan sebagaimana berikut:


“Mitos Merapi ‘Nyai Gadung Melati’.
Diantara sekian banyak tokoh makhluk halus yang dipercaya menempati Kraton Gunung Merapi ada satu tokoh yang paling terkenal dan dicintai oleh penduduk daerahnya, bernama ‘Nyai Gadung Melati’ yang tinggal di Gunung Wutoh. Dia berperan sebagai pemimpin pasukan makhluk halus Merapi dan pelindung lingkungan daerahnya, termasuk memelihara kehijauan tanaman dan kehidupan hewan. ‘Nyai Gadung Melati’ juga sering muncul di mimpi-mimpi penduduk sekitar kaki Gunung Merapi sebagai pertanda Merapi akan meletus, dalam mimpi penduduk ‘Nyai Gadung Melati’ disebutkan berparas cantik dan berpakaian warna hijau daun melati.”

Cerita diatas seketika mengingatkan ku akan sebuah pertanyaan dosen kami dikelas, “Kenapa hantu atau makhluk halus di Indonesia cenderung digambarkan dalam sosok perempuan? Padahal di luar negeri ada makhluk-makhluk seperti vampir, dracula, dll yang berjenis kelamin laki-laki. Apakah kalian tau alasannya? Itu bisa dijadikan penelitian lho”, begitu kira-kira kata beliau.
Pertanyaan yang sama pun coba aku lontarkan pada temanku kala itu, terkait dengan ‘Nyai Gadung Melati’ mengapa harus berjenis kelamin perempuan. Analisisnya cukup menarik, menurut dia mengapa sosok ‘Nyai Gadung Melati’ itu perempuan, karena perempuan diidentikkan dengan kesuburan. Kala itu, tentu mata pencahariaan penduduknya sebagian besar adalah bercocok tanam atau petani, sehingga mereka menganggap bahwa kesuburan adalah yang suatu hal penting dan utama dalam hidupnya.
Manusia sebagaimana kita ketahui, awalnya hidup nomaden atau berpindah-pindah dari satu goa menuju goa lainnya dan mendapatkan makan dengan cara berburu. Namun kemudian paradaban berkembang, sehingga yang awalnya nomaden menjadi sedenter yakni hidup menetap. Di masa inilah, mereka tidak lagi berburu tapi mengolah suatu bidang tanah untuk kebutuhan pangannya dan kelangsungan hidupnya. Pada masa ini manusia berfokus pada kesuburan dan hal itu menjadi sangat penting, mereka pun menganggap perempuan identik dengan kesuburan karena perempuan mengandung dan melahirkan anak. Disaat itu pula, pengetahuan manusia yang masih sangat terbatas mengira bahwa perempuan lah satu-satunya pihak yang berperan atas kelahiran anggota baru dalam sebuah keluarga tanpa mengetahui bahwa laki-laki juga berperan. Posisi perempuan kala itu dipandang lebih atas daripada laki-laki.
Peradaban kembali berkembang, manusia yang awalnya membutuhkan sepetak tanah saja untuk ditanami dan cukup untuk makan sekeluarga, merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya, sehingga tanah yang dimiliki tak cukup hanya sepetak dua petak. Mereka ingin memperluas kepemilikan lahan, satu-satunya cara untuk memperluas dan menguasai lahan-lahan lain yang sudah dimiliki orang adalah dengan menaklukkan pihak lain tersebut melalui jalan peperangan. Peperangan tentu saja lebih banyak didominasi oleh kaum adam. Dari peperangan inilah, masyarakat mulai melihat bahwa posisi laki-laki lebih diatas daripada perempuan. Selain itu, pengetahuan mulai berkembang dan mereka mulai mengetahui bahwa laki-laki juga turut berperan dalam proses terbentuknya janin di dalam rahim, hingga lahir menjadi seorang bayi.
Kini, di zaman modern, peperang sudah mulai ditinggalkan karena penguasaan lahan tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan dan peperangan. Selain itu, era masyarakat pertanian sudah mulai bergeser menuju era masyarakat industri lah. Dalam masyarakat industri, bukan hanya laki-laki saja yang bekerja dan berperan namun perempuan juga ikut bekerja, sehingga kini kerap kita dengar upaya penyetaraan gender sehingga perempuan dapat diakui dan berada pada posisi yang sama dengan laki-laki. Tidak ada yang lebih unggul antara keduanya.


Referensi: Buku Riwayat Peradaban, karya Larry Gonick. 

Mitologi Gunung Bromo

Gambar Rara Anteng dan Joko Seger yang Kehilangan Anaknya 
Di museum Gunung Merapi ini, sebagaimana kuceritakan sebelumnya, selain memuat informasi dan sejarah mengenai Gunung Merapi, juga memuat informasi tentang berbagai gunung yang ada di Indonesia bahkan dunia, salah satunya adalah mitos mengenai Gunung Bromo yang ada di Jawa Timur. Karena aku berasal dari Jawa Timur dan lokasi Gunung Bromo tak cukup jauh dari rumahku, tentu saja informasi yang berkaitan dengan gunung ini membuatku tertarik, meskipun aku belum pernah kesana secara langsung hehe semoga segera ada kesempatan ya.
Dibawah gambar itu, diberikan keterangan sebagaimana gambar-gambar yang lainnya, sebagaimana berikut:

“Legenda Gunung Bromo berkaitan dengan kawasan Tengger. Menurut Legenda, pada akhir abad 15, seseorang putri keturunan Kerajaan Majapahit, Rara Anteng, menikah dengan Joko Seger. Nama Tengger merupakan perpaduan dari akhir nama Rara Anteng (Teng) dan Joko Seger (Ger).
Setelah beberapa lama pasangan tersebut berumah tangga, belum juga dikaruniai keturunan, kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar dikaruniai keturunan. Permintaan mereka akhirnya dikabulkan dengan syarat anak bungsu harus dikorbankan ke dalam kawah Bromo.
Setelah pasangan tersebut menyanggupinya, didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra putrinya, sehingga Rara Anteng dan Joko Seger ingkar janji. Dewa menjadi marah, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita, kawah Gunung Bromo menyemburkan api. Anak bungsunya bernama Raden Kesuma lenyap dari pandangan, dia terjilat api dan masuk ke kawah Bromo. Bersamaan hilangnya Kesuma terdengar suara gaib “Saudara-saudara ku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Sang Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tentram, sembahlah Sang Hyang Widi. Aku ingatkan kalian agar setiap bulan Kasada yang ke-14 mengadakan sesaji berupa buah-buahan, sayuran, bunga, dan binatang piaraan kepada Syang Hyang Widi di kawah Gunung Bromo.”

Membaca tulisan tersebut, tiba-tiba temanku yang sama sebagaimana aku ceritakan diatas memberikan pandangannya (kali ini tanpa kutanya hehe). Menurutnya mitos Gunung Bromo tersebut memiliki kesamaan dengan kisah Nabi Adam dan Siti Hawa yang memiliki 25 orang anak, dan bagian yang sama pula terletak pada hilangnya satu diantara 25 anak tersebut. Namun dalam kisah Nabi Adam, beliau kehilangan anaknya yang bernama Habil karena dibunuh oleh saudara kandungnya sendiri yakni Qabil.
Menurut temanku, ia pernah membaca sebuah buku berjudul Atlantis, the Lost Continent Finally Found karya dari Prof. Arysio Nunes dos Santos seorang ahli geologi berkebangsaan Brazil, yang diterbitkan oleh Atlantis Publications. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa dalam setiap peradaban akan selalu ada sebuah cerita yang sama dengan kisah-kisah diperadaban-peradaban lain sebelumnya, hanya sedikit dirombak di beberapa sisi agar tak benar-benar sama. Entah apakah Mitos Gunung Bromo ini memang begitu adanya atau peradaban kala itu mencoba untuk membangun cerita yang terinspirasi dari kisah Nabi Adam dan Siti Hawa.

Mitologi Merapi

Mitologi Merapi

Menghabiskan long weekend di Kota Budaya Jogja tentu saja bagiku tak pernah membosankan. Beruntung sekali aku berkesempatan domisili di Provinsi ini. Setelah beberapa saat lalu memilih untuk jalan-jalan ke Puncak Suroloyo sebagaimana sempat kuceritakan melalui caption di Instagramku adalah tempat bertapa Pangeran Diponegoro, dan hingga kini masih menjadi tempat dilakukannya upacara adat tiap malam 1 Suro. Berbeda dengan minggu ini, aku dan temanku memilih untuk berjalan-jalan ke Museum Gunung Merapi.

Terdengar membosankan ya? “Anak muda jalan-jalan kok ke museum? Mau jadi ahli sejarah po?” begitu barangkali pertanyaan yang dilontarkan sebagian orang jika dituliskan dalam logat khas jogja.
Tapi bagi kami, sejarah itu hal yang tak hanya melulu perlu dijamah oleh orang tua saja, sejarah adalah bagimana kita mengetahui dan belajar dari masa lalu untuk kemudian menjadi lebih baik dimasa kini dan masa depan. Bahkan karena ketertarikan dengan hal-hal berbau sejarah yang cukup besar, kami memiliki cita-cita yang terdengar sedikit utopis tapi sungguh ingin kami wujudkan yakni menjadi penyokong utama dalam hal dana untuk pembangunan museum indonesia berkelas internasional. Hehehhe. Tak salah kan bermimpi besar?

Jalur yang tempuh mudah saja, yakni mengikuti sepanjang Jalan Kaliurang, lalu belok ke kiri. Kami sebagai perantau mudah menemukan lokasi ini tentu saja karena berbekal petunjuk Google Maps. Kami hanya perlu membayar tiket sebesar 5000 rupiah saja, untuk dapat menyelam dalam lautan sejarah meletusnya gunung merapi dan juga gunung-gunung yang lain. Nah... ini sisi menariknya, meskipun bernama Museum Gunung Merapi, tapi museum ini juga memberikan informasi terkait gunung-gunung di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Terbaik memang.

Pada bagian pintu masuk, kami akan disuguhi dengan replika Gunung Berapi yang nampak sungguh megah. Replika ini dilengkapi dengan 4 tombol, 1 tombol berwarna merah dan tiga lainnya berwarna hijau. Satu tombol merah diberi keterangan “Narasi”, tentu saja sesuai dengan fungsinya, yakni ketika kita tekan tombolnya maka akan terdengar narasi penjelasan meletusnya gunung merapi. Sedangkan, tiga tombol hijau lainnya bertuliskan masing-masing tahun meletusnya Gunung Merapi, yang jika kita tekan maka replika akan bergetar dan mengeluarkan suara menggelegar lengkap dengan keluarnya asap dari bagian puncak replika Gunung Merapi.

Selanjutnya.. perjalanan kami pun dimulai dengan menyusuri museum dari bagian kanan memutar ke arah kiri museum.
Ada hal yang menarik kami jumpai, yakni lukisan dari Aloysius Heri, ia memberikan keterangan atas dirinya dalam lukisan tersebut sebagai seorang Petani dan Pelukis.
Lukisan itu cukup besar, berbentuk persegi panjang. Pada bagian kiri lukisan nampak gunung merapi lengkap dengan laharnya yang memerah dan seolah membakar manusia-manusia. Sedangkan di sisi kiri, ada lautan dan ombak yang membuncah dan memporak porandakan sekitarnya. Yang menarik, dibagian tengahnya ada gambar Keraton Yogyakarta yang terlindungi oleh sebuah lingkaran transparan. Awalnya kami hanya menerka-nerka, namun terkaan kami segera dijawab oleh keterangan tulisan yang terletak dibagian bawah lukisan tersebut.

“Banyak mitos yang berkembang di masyarakat terutama yang tinggal di sekitar lereng merapi. Yang paling menonjol adalah keberadaan Eyang Sapu Jagad, sosok gaib penunggu Gunung Merapi. Berbicara tentang Eyang Sapu Jagad tidak dapat dilepaskan dari Kanjeng Ratu Kidul, sosok gaib penunggu Laut Selatan.
Berawal dari Sutawijaya (kemudian bergelar Panembahan Senopati) anak dari Ki Ageng Pemanahan, bertapa di panta laut selatan. Dalam laku tapa tersebut Sutawijaya bertemu, berkenalan, saling jatuh cinta dan menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sutawijaya mengutarakan niatnya untuk membangun kerajaan baru. Singkat cerita, Kanjeng Ratu Kidul berkenan membantu dengan sepenuh hati. Sebagai tanda kesungguhan dan cintanya, Kanjeng Ratu Kidul menghadiahi “Ndhog Jagad” yang kemudian dititipkan kepada Kyai Sapu Jagad.
Apa yang ingin disampaikan dari mitologi diatas adalah bahwa Sapu Jagad berarti menyapu jagad, sapunya jagad dunia. Jagad yang dimaksud adlah diri pribadi manusia, jagad cilik dunia kecil (mikrokosmos) dengan demikian sapu jagad adalah konsep spiritualistis dalam kesadaran membersihkan diri pribadi, hati dan pikiran. Sedang Kanjeng Ratu Kidul berasal dari kata “rat” yang berarti maha luas, tak terbatas. Ide, pemikiran pemikiran manusia sering kali tak terbatas, untuk itu dalam mewujudkan itu dalam keterbatasan diperlukan batasan-batasan berupa simbol untuk mewujudkan, membumikan ide, gagasan manusia. Endhog Jagad, endhog berarti telur sifatnya embriotik, bakal. Apa yang dilakukan Suta Wijaya adalah mentranplantasi sebuah gagasan abstrak kedalam realita melalui pergulatan batin, bersih diri, dan akhirnya mendapatkan pencerahan, maka dia berdiri di barisan paling depan untuk mewujudkan berdirinya kerajaan baru Mataram. Eksistensi Mataram saat itu boleh jadi karena tuntutan kebutuhan, kebutuhan akan perlunya “peradaban baru”.
Mitologo Merapi Laut Selatan sudah saatnya kita sikapi dengan cara pandang modern, kita perlu menenggelamkan dan memperabukan pemikiran dan cara pandang lama, mengganti dengan yang baru. Dengan niat sungguh-sungguh, hati bersih, sepi ing pamrih rame ing gawe, kita akan mampu memamfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di Gunung Merapi maupun Laut Selatan untuk kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian layaklah kita disebut sebagai manusia beradab yang hidup di dalam peradaban baru.
Aloysius Heri – petani, pelukis”

Demikian paragraf demi paragraf yang coba ditulis untuk menggambarkan sejarah Gunung Merapi dan kaitannya dengan Keraton juga Pantai Selatan. Menarik sekali membacanya, namun tulisan tersebut justru menimbulkan sederet pertanyaan yang berjajar panjang dibalik kepala ini. Apa fungsi Ndhog Jagad? Kenapa Kanjeng Ratu Kidul menghadiahkan hal tersebut sebagai bukti kesungguhannya? Kenapa pula Ndhog Jagad harus dititipkan pada Kyai Sapu Jagad? Kenapa pada bagian awal, penulis menyebutkan Eyang Sapu Jagad dan pada paragraf selanjutnya menyebut dengan Kyai Sapu Jagad? Hehe. Terlalu skeptis ya hehe. Tapi pertanyaan itu muncul begitu saja, tiba-tiba berhamburan bagai letup kembang api yang baru dipertemukan dengan ujung korek gesek. Padahal aku tau ini hanyalah mitos atau mitologi, yang dijelaskan pula oleh si penulis, bahwa sebagai makhluk beradab di peradaban baru sudah seharusnya kita menyikapi cerita tersebut dengan cara pandang masa kini. Hehe, tapi lagi-lagi aku masih skeptis.

Salah satu temanku yang sangat menyukai bidang sejarah dan memiliki analisis yang tajam pun mencoba membantuk keluar dari kebuntuan di otak akibat skeptis berlebihan ini.
Menurut teman saya, cerita Sutawijaya tersebut memiliki nada yang sama dengan cerita yang pernah ia pernah pada sebuah buku berjudul “Sejarah Indonesia Modern” sebuah terjemahan dari karya M.C. Ricklefs seorang peneliti dari Australian National University. Dalam buku tersebut M.C. Ricklefs menyampaikan cerita kelahiran kerajaan-kerajaan di Nusantara, salah satunya Samudrapasai. Dikisahkan bahwa raja pertama Samudrapasai bermimpi dipegang kepalanya oleh Nabi Muhammad lalu seketika ia mampu menghafal Al-Quran dan melegitimasi dirinya sebagai seseorang yang ditunjuk Allah untuk menjadi Raja.

Singkatnya, temanku ini menyampaikan analisisnya bahwa cerita-cerita jaman dahulu selalu menggunakan religius magis (istilah dalam bahasa hukum adat) untuk melegitimasi kekuasaan. Sutawijaya melegitimasi kekuasaannya di Kerajaan Mataram menggunakan cerita tentang pernikahannya dengan Nyi Roro Kidul, sedangkan Raja Samudera Pasai melegitimasi dirinya dengan menggunakan cerita tentang mimpi bertemu Nabi.  Keduanya memiliki nada dan corak cerita yang sama. 

Replikas Gunung Merapi dengan Simulasi letusannya
Pintu Masuk atau Bagian Depan Museum Gunung Merapi


Mitos Merapi. “Nyai Gadung Melati”

Masih di lokasi yang sama yakni Museum Gunung Merapi, aku menemukan gambar ini, lengkap dengan keterangan sebagaimana berikut:
“Mitos Merapi ‘Nyai Gadung Melati’.
Diantara sekian banyak tokoh makhluk halus yang dipercaya menempati Kraton Gunung Merapi ada satu tokoh yang paling terkenal dan dicintai oleh penduduk daerahnya, bernama ‘Nyai Gadung Melati’ yang tinggal di Gunung Wutoh. Dia berperan sebagai pemimpin pasukan makhluk halus Merapi dan pelindung lingkungan daerahnya, termasuk memelihara kehijauan tanaman dan kehidupan hewan. ‘Nyai Gadung Melati’ juga sering muncul di mimpi-mimpi penduduk sekitar kaki Gunung Merapi sebagai pertanda Merapi akan meletus, dalam mimpi penduduk ‘Nyai Gadung Melati’ disebutkan berparas cantik dan berpakaian warna hijau daun melati.”

Cerita diatas seketika mengingatkan ku akan sebuah pertanyaan dosen kami dikelas, “Kenapa hantu atau makhluk halus di Indonesia cenderung digambarkan dalam sosok perempuan? Padahal di luar negeri ada makhluk-makhluk seperti vampir, dracula, dll yang berjenis kelamin laki-laki. Apakah kalian tau alasannya? Itu bisa dijadikan penelitian lho”, begitu kira-kira kata beliau.
Pertanyaan yang sama pun coba aku lontarkan pada temanku kala itu, terkait dengan ‘Nyai Gadung Melati’ mengapa harus berjenis kelamin perempuan. Analisisnya cukup menarik, menurut dia mengapa sosok ‘Nyai Gadung Melati’ itu perempuan, karena perempuan diidentikkan dengan kesuburan. Kala itu, tentu mata pencahariaan penduduknya sebagian besar adalah bercocok tanam atau petani, sehingga mereka menganggap bahwa kesuburan adalah yang suatu hal penting dan utama dalam hidupnya.
Manusia sebagaimana kita ketahui, awalnya hidup nomaden atau berpindah-pindah dari satu goa menuju goa lainnya dan mendapatkan makan dengan cara berburu. Namun kemudian paradaban berkembang, sehingga yang awalnya nomaden menjadi sedenter yakni hidup menetap. Di masa inilah, mereka tidak lagi berburu tapi mengolah suatu bidang tanah untuk kebutuhan pangannya dan kelangsungan hidupnya. Pada masa ini manusia berfokus pada kesuburan dan hal itu menjadi sangat penting, mereka pun menganggap perempuan identik dengan kesuburan karena perempuan mengandung dan melahirkan anak. Disaat itu pula, pengetahuan manusia yang masih sangat terbatas mengira bahwa perempuan lah satu-satunya pihak yang berperan atas kelahiran anggota baru dalam sebuah keluarga tanpa mengetahui bahwa laki-laki juga berperan. Posisi perempuan kala itu dipandang lebih atas daripada laki-laki.
Peradaban kembali berkembang, manusia yang awalnya membutuhkan sepetak tanah saja untuk ditanami dan cukup untuk makan sekeluarga, merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya, sehingga tanah yang dimiliki tak cukup hanya sepetak dua petak. Mereka ingin memperluas kepemilikan lahan, satu-satunya cara untuk memperluas dan menguasai lahan-lahan lain yang sudah dimiliki orang adalah dengan menaklukkan pihak lain tersebut melalui jalan peperangan. Peperangan tentu saja lebih banyak didominasi oleh kaum adam. Dari peperangan inilah, masyarakat mulai melihat bahwa posisi laki-laki lebih diatas daripada perempuan. Selain itu, pengetahuan mulai berkembang dan mereka mulai mengetahui bahwa laki-laki juga turut berperan dalam proses terbentuknya janin di dalam rahim, hingga lahir menjadi seorang bayi.
Kini, di zaman modern, peperang sudah mulai ditinggalkan karena penguasaan lahan tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan dan peperangan. Selain itu, era masyarakat pertanian sudah mulai bergeser menuju era masyarakat industri lah. Dalam masyarakat industri, bukan hanya laki-laki saja yang bekerja dan berperan namun perempuan juga ikut bekerja, sehingga kini kerap kita dengar upaya penyetaraan gender sehingga perempuan dapat diakui dan berada pada posisi yang sama dengan laki-laki. Tidak ada yang lebih unggul antara keduanya.
Referensi: Buku Riwayat Peradaban, karya Larry Gonick.