30 Januari 2019

ICW: #koruptorkoknyaleg


Malam ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan merilis 40-an nama calon anggota legislatif yang merupakan mantan narapidana khususnya kasus korupsi. Berbagai pro dan kontra sebelumnya terus mencuat ke permukaan, terkait langkah KPU mempublikasikan nama-nama mantan koruptor ini. Di sisi kontra, ada yang menyebut bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama, tidak boleh ada diskriminasi terhadap masa lalu seseorang. Bahkan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, secara terang-terangan menyebut KPU hanya pencitraan dan hanya ikut-ikutan urusan dari lembaga lain yakni KPK.
Namun di sisi pro, menyatakan bahwa informasi terkait rekam jejak calon legislatif penting dijelaskan secara terbuka, sehingga publik dapat memiliki pertimbangan dalam memilih calon dan wakil rakyatnya nanti. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah jauh-jauh hari merilis daftar nama 46 mantan narapidana kasus korupsi melalui akun resminya di twitter, sebagaimana berikut:



Upaya publikasi latar belakang caleg khususnya eks koruptor ini sangat penting, terlepas dari apapun motif yang dimiliki KPU entah pencitraan sebagaimana menurut Fahri Hamzah, atau cari muka, dan lain-lain. Bahkan saya pikir bukan hanya eks koruptor saja, namun tindak pidana lain yang pernah dilakukan juga seharusnya dipublikasikan, misal: penipuan, pencemaran nama baik, dan seterusnya.
Saya pribadi jelas mendukung langkah KPU, dan saya jelas tidak akan memilih dan memberi kesempatan kedua pada orang yang pernah mengingkari janjinya sendiri dan menciderai hukum. Dari pada sibuk membicarakan keadilan di hadapan hukum dan kesempatan yang sama terhadap caleg eks koruptor, kenapa kita tidak membicarakan keadilan untuk rakyat saja? Bukankah rakyat butuh pemimpin dan wakil rakyat yang amanah. Sebelum berbicara mengenai keadilan untuk caleg eks koruptor, apakah mereka sendiri sudah adil terhadap rakyatnya dengan melakukan tindak korupsi tersebut? Mari kita berikan perhatian dan fokus ini hanya untuk kesejahteraan publik bukan untuk mengulang kesalahan yang sama dan menyejahterakan para eks koruptor.

Sebagai refleksi, coba kita tanyakan pada diri kita sendiri, maukah kita apabila Setya Novanto nyaleg lagi pada pemilu tahun ini? Masihkah kita mempercayai orang yang pernah melakukan korupsi E-KTP tersebut? Saya yakin semua dari kita akan kompak bersorak dengan lantang mengatakan: TIDAK. Lantas... untuk apa kita masih memberi toleransi pada eks eks koruptor yang lain? Apa hanya karena kasus korupsinya tidak seheboh dan sebesar Setya Novanto dengan segala drama dan gimmick nya? Come on... siapapun dan berapapun itu tetaplah korupsi, jangan beri kesempatan lagi. #koruptorkoknyaleg


3 Januari 2019

Nirwana Happy dan Gegar Budaya 6 Tahunan


Nama ini sih bagus ya, ada kandungan surgawi nya begitu. Nama lengkap gadis berusia hampir seperempat abad ini aslinya memang Nirwana Happy... kira-kira jika diterjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahami adalah: Kebahagiaan Surga, atau mungkin Perempuan yang akan berbahagia di surganya Allah. Amin.. mungkin begitu kira-kira.

Tapi kali ini yang menarik perhatian ku bukan lagi namanya, sebab aku mengenalnya sudah terlampau lama. Ya..., kira-kira enam tahun lalu, pertama kali di bangku S1 Universitas Brawijaya. Dan itu artinya, sudah enam tahun pula Hepay (panggilan sayangku padanya haha) menginjakkan kaki di tanah Jawa, khususnya Kota Malang. Tapi rupanya, lebih dari setengah dekade merantau tak lantas menjadikan Hepay sepenuhnya paham dengan budaya di Malang. Ya, kita mengenalnya dengan gegar budaya atau culture shock, istilah psikologis ketika seseorang berada dalam kondisi lingkungan sosial budaya yang berbeda. 
Buktinya, meskipun sudah enam tahun tinggal di Malang, Hepay masih dengan muka heran mengerutkan dahinya memandangi handphone, lalu bertanya padaku

“Kok bisa ya orang ini berpendidikan lho.. kok misuh (berkata kotor) gini ya?”.

“Apa sih, Pay?” tanyaku yang jadi ingin tahu.

“Ini lho Mid, masa orang ini bilang ‘jan.. kok’, nah ‘jan’ itu kan artinya ngomong kotor”

Rupa-rupanya ‘jan’ dalam benak Hepay memiliki arti yang sama dengan (maaf) jancok, yang memang adalah kata kasar dalam bahasa Jawa.

“Aduh Pay.. bukan.. ‘jan’ itu bukan itu artinya” aku sontak tertawa, diiringi Hepay yang masih bingung penuh rasa ingin tahu.

Makna ‘jan’ dalam bahasa Jawa jelas berbeda dengan kata-kata kotor khas Jawa Timur atau bahkan khas Malangan Suroboyoan itu. Karena ‘jan’ di sini bahkan nyaris tidak memiliki makna karena sulit diartikan, itu hanya sekedar penekanan dan ungkapan, bahwa orang yang tengah mengatakan hal tersebut sedang geram, gemas, atau yang sejenisnya. Maka ketika ada orang Jawa Timuran berkata “Arek iki ancene jan....” itu bukan berarti orang tersebut hendak mengumpati rekannya, tapi itu senada dengan kata “Anak ini emang ya.... huh” sambil dengan nada gemas atau geram.
Mendengar penjelasanku tersebut Hepay manggut-manggut dan segera mengakhiri prasangka nya pada orang yang dikira sedang berkata kotor dengan kata-kata ‘jan’ hahaha. 

Budaya memang lahir dari peradaban panjang masyarakat di masa lampau dan terus tumbuh, sehingga untuk mempelajari dan memahaminya tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Selamat bergegar-gegar ria kawan di mana pun kita berada. Selama kita masih merasakan gegar budaya, artinya kita masih terus bergerak, terus menjelajah dari satu kota ke kota lainnya, dan dari satu negeri ke negeri seberangnya, maka selamat menemukan keberagaman!


Yk, 3 Januari 2018