Gambar. Sampul Buku Duo Wartawan Senior, terbitan Tempo Publishing |
Sekitar pertengahan April lalu, kami pindah domisili ke Sumatera
Barat. Menempuh perjalanan udara dan darat yang lebih menegangkan dari biasanya,
karena kami bepergian di tengah suasana pandemi. Minim interaksi, bermasker
rapat, hingga bersarung tangan ketat. Kami nyaris tak bicara pada siapa pun
sepanjang perjalanan Jakarta-Padang kecuali dengan petugas-petugas yang
berkepentingan mengecek dokumen atau petugas kesehatan di bandara yang mengecek
suhu lalu meminta kami mengisi berlembar-lembar form data diri dan riwayat
perjalanan.
Selain perjalanan itu, yang lebih menarik adalah cerita
karantina mandiri kami selama 14 hari ketika tiba di Sumbar. Di tempat yang
cukup asing ini, kami tiba-tiba terpaksa harus berdiam diri sepanjang hari di
dalam rumah, makan dari jasa catering, dan mengikuti serangkaian prosedur sebagai
pendatang dari luar daerah yakni melapor via telepon ke petugas kesehatan
setempat dan wali nagari (setara kepala desa). Kesuntukan mengurung diri itu tiba-tiba
menjadikanku teringat pada kisah Mochtar Lubis dalam buku berjudul Duo Wartawan
Senior Tiga Zaman Indonesia: B.M. Diah & Mochtar Lubis terbitan Tempo
Publishing. Dalam buku itu dikisahkan tentang Mochtar Lubis yang pernah menjadi
tahanan rumah selama 4.5 tahun di masa pemerintah Soekarno, karena ia tak henti
mengkritik pemerintah melalui koran yang dipimpinnya, Indonesia Raya. Koran
tersebut memang masih boleh terbit, Mochtar Lubis juga masih rajin
menulis tajuk rencana di dalamnya, berkat sang istri yang membawakan naskah itu
ke kantor sementara ia tetap di rumah. Mochtar Lubis mengisahkan:
“Saya di jaga oleh dua CPM bersenjata penuh setiap hari.
Bulan pertama, saya tidak boleh menerima tamu. Bulan berikutnya saya mulai bisa
merayu para penjaga. Saya bercerita tentang alasan saya mengkritik Bung Karno. Akhirnya
mereka mengerti kalau saya mau keluar rumah. “Pokoknya kami tutup mata deh, Pak..”
kata mereka. Mereka percaya saya tak melarikan diri dan saya memang tak
berencana melarikan diri ke mana-mana. Suatu hari, malah para penjaga CPM itu
yang permisi mau pergi sebentar. “Pak, kalau letnan kontrol, tolong dong bilang
kami di belakang. Kami mau ke Jakarta, cari duit..” mereka pun pergi. Ketika
letnannya datang, saya bilang anak buahnya sedang di belakang. Pernah pula
suatu malam, mereka minta izin pulang, “Pak, sudah dua minggu kami tidak tidur
sama sekali, jadi minta pulang ya..”. Nah, karena itu para penjaga CPM tersebut
bisa kompak dengan saya. Setelah tiga bulan, saya bilang, “Eh, sudah lama saya
tidak nonton film. Nonton yuk..” Mereka mau dan katanya, “Tapi belakangan saja
datangnya biar tidak kelihatan. Bapak terlalu dikenal orang, kalau ketahuan,
kami yang susah”. Saya setuju. Maka saya menunggu di mobil sampai kira-kira
penonton sudah masuk semua, lantas kedua CPM itu mengurus tiketnya di Globe
Teater. Ternyata tidak pakai karcis karena ada tempat duduk gratis buat anggota
pemadam kebakaran yang dapat dipakai. “Pak, kolonel mau nonton,” kata CPM itu
pada manajer bioskop. “O, beres..”. Saya segera diantar ke dalam dan
orang-orang memberi hormat pada saya. Saya menahan ketawa geli. Dulu, jabatan
kolonel itu sangat tinggi. Begitulah kehidupan saya selama empat setengah
tahun, sementara itu Indonesia Raya tetap beredar dan tetap laku.”.
Haru tapi juga lucu. 4,5 tahun tentu bukan waktu yang
singkat, di tambah Mochtar Lubis juga pernah menjadi tahanan sel beberapa kali
salah satunya di Madiun. Jadi, tak ada apa-apanya jika kami melalui 14 hari
sebagai “tahanan rumah” karena pandemi. Dahulu, para orang besar itu juga terpaksa
menahan diri berbaur dengan dunia luar, demi menyelamatkan negeri ini. Dalam
keadaan yang berbeda, namun cara yang hampir sama.
Lubuk Sikaping, 19 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?