18 September 2015

Penjaja Koran dan Free Wifi


#pagiperpustakaan kali ini lagi ogah bahas skripsi hehehe, sebenernya bukan apa-apa sih, tapi karena ada hal lain yang lebih menarik perhatianku pagi ini di perpustakaan, selain berlembar-lembar kisah hidup Pak Rosihan Anwar :)
Di teras depan perpustakaan yang mulai sesak dengan mahasiswa ini, aku melihat lelaki bertopi abu-abu tengah menjajakan sesuatu sambil memekikkan kata “Koran.. koran”, kemudian menunjukkan sampul depan kertas tersebut, sebuah foto bencana alam banjir dan tanah longsor di Aceh.
Berbicara tentang berita tersebut, sebenarnya aku sudah membaca dari internet sejak beberapa waktu yang lalu. Dapat dengan lengkap kuperoleh informasinya, bahkan link berita lanjutannya pun langsung muncul dibagian akhir berita. Dengan sangat mudah, runtut, dan rinci, dalam sekejap aku bisa mengetahui kronologi kejadian apapun di belahan dunia manapun, hanya dengan bantuan Internet, dan... tentu wartawannya (hehe, ini yang paling penting. Ada internet tanpa ada wartawan, mustahilkan kan menjadi sebuah berita?)
Kembali kulihat si bapak penjaja koran, sejenak kemudian ku terbangkan pandangan ke bagian atas teras perpustakaan. Di sana tergantung sebuah benda berbentuk bulat pipih yang tak henti berkedip-kedip dengan lampu warna hijaunya. Kita semua sepakat menyebutnya wifi.
Jadi.... kira-kira mana yang lebih dipilih manusia masa kini, terutama dalam lingkup kecil perpustakaan universitas? Membeli kertas koran seharga 4000 rupiah, atau mengeluarkan laptop yang dibelikan Ayah kemudian menekan tombol turn on wifi dan selanjutnya dapat berselancar di dunia tanpa batas.
Penjaja koran dan wifi gratis, menjadikanku miris. Ternyata, tanpa kita sadari, dunia telah perlahan-lahan menelan manusia-manusia setia seperti si bapak penjaja koran. Perlahan-lahan dunia modern telah membatasi kita berinteraksi secara langsung atau tatap muka dengan orang lain. Kita terkadang memilih untuk lebih praktis, apatis, dan menganggap bahwa meninggalkan komentar berupa tulisan di kolom pembaca digital sudah bisa disebut sebagai salah satu jenis interaksi.

Coba bayangkan, alangkah indahnya jika di pagi se dingin ini di Kota Malang, kita hangatkan diri dan hati (terutama) untuk sejenak menyapa penjaja koran, berbasa-basi menanyakan apa headline koran A dan koran B? Kemudian membagikan senyuman sembari menyodorkan uang 5000-an.
“Kembaliannya ambil saja, Pak.”
“Terimakasih Mbak, terimakasih :)”
Ah.... alangkah indahnya dunia, kala mendengar ungkapan terimakasih nan tulus diiringi rekah senyum yang nampak simetris di bibir pekerja keras seperti nya. Barangkali, ketika pulang nanti si Bapak bisa ceritakan pada anaknya bahwa manusia-manusia yang duduk dibalik gedung kokoh perkuliahan bukanlah orang-orang apatis yang ‘sok serius’ dan ‘sok sibuk’, tapi mereka adalah orang-orang baik yang ikhlas berbagi, walau hanya senyum di pagi hari. Siapa tau si Bapak akhirnya punya mimpi, menyekolahkan anaknya hingga ke universitas nanti?
Haha aku terlalu panjang berangan ya?
Setidaknya, pagi ini aku sudah memutuskan membeli koran itu dan berusaha membagikan senyum semangat terbaik yang kumiliki :)

#pagiperpustakaan, jangan lupa tersenyum dan bagikan kebaikan