29 Oktober 2018

I love you so much but i dont need to post it on facebook.
I miss you in every second but i dont need to make long caption on instagram.
I adore you so much.. but i dont need to tell the world.
You always stand in front of me to make sure im okay no matter what.
I dont need to list your kindness here... let just me, you, and God knows everything happen. A heavy step to leaving you... a hard moment to see you away... we will pass this. We will be okay..



-your iron.

26 Oktober 2018

Enggan


Manusia memang seperti air yang selalu mencari titik rendah ternyaman. Ketika sudah sampai pada pelukan hilir, air kesulitan untuk menuju hulu kembali.
Kemudian matahari yang berjasa memanas dan menjadikannya uap hingga berbaur dengan awan di langit-langit.
Kita pun begitu, enggan beranjak.
Dalam perut ibunda kita enggan keluar, maka menangis sejadi-jadinya si bayi kala hangat rahim berganti menjadi dingin ruang persalinan.
Dalam masa kanak enggan beranjak remaja. Enggan keluar dari rumah dan pergi merantau untuk sekolah.
Dari sekolah enggan lagi beranjak. Tak mau kembali pulang ke kampung halaman. Hingar bingar kota dan segala modernitasnya mengelabuhi jiwa-jiwa kita. Di desa hanya ada tanah becek berlumpur dan seruling bambu yang lumutan untuk dimainkan di atas kerbau. Tak ada pekerjaan berdasi untuk lulusan perguruan tinggi negeri.
Dari perantauan enggan untuk menikah. Tak maulah dikekang. Hidup sudah enak sendiri. Untuk apa cari pendamping dan susah-susah jadi istri.
Begitulah kehidupan, terus memaksa kita untuk bergerak, beranjak, berubah, tapi kita juga terus enggan, terus mencari titik nyaman yang entah di sudut bumi bagian mana letaknya. 


8 Oktober 2018

Jangan Mudah Termakan Hoax


Judul kali ini bukan terinspirasi dari kasus Hoax racikan Ratna Sarumpaet yang sedang viral itu, tapi justru terkait dengan kehidupan pribadi. Hoax sejatinya bukan sesuatu yang baru, jauh sebelum era banjir informasi dan perkembangan media digital yang begitu pesat kini, hoax sudah hadir di tengah-tengah kita. Hoax sudah muncul di antara gurauan warung kopi, di balik kelakar tukang becak, di tengah aktivitas “metani” rambut tetangga untuk mencari kutu. Hoax sudah sangat sepuh, namun kita yang tak kunjung dewasa.

Sejak zaman Nabi dan Rasul tentu saja hoax sudah muncul, kemudian dikenal dengan kata “fitnah”. Di zaman dahulu istilah hoax juga dikenal dengan kata lain “kabar burung”. Ya... sebegitu kekanak-kanakannya lah pikiran kita, mudah termakan “kata si ini dan kata si anu”. Lalu spekulasi-spekulasi muncul, beragam opini ngawur dan pendapat ngasal berhamburan padahal duduk perkara belum jelas asalnya.

Hoax barang kali erat kaitannya dengan pelajaran saya di Ilmu Komunikasi mengenai “efek halo”. Efek halo adalah kesan pertama yang muncul tatkala bertemu seseorang. Maka dalam postingan blog saya sebelumnya, ada istilah dari Rosihan Anwar yang menarik dan saya kutip, “Sejak masa muda saya tidak pernah mempercayai ‘kesan pertama’ tentang seseorang. Selalu saya berikan orang kesempatan untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya”.

Nah.., sebagaimana bertemu seseorang, begitu pula dalam melihat sesuatu dan dalam menghadapi kejadian, tak perlulah kita tergesa-gesa memberikan kesimpulan. Baiknya kita beri ‘kesempatan’ bagi sang kasus atau kejadian untuk menunjukkan diri. Apa sih duduk perkara sebenarnya? Kenapa sih bisa begitu? Apa sih motifnya? Dan sederet pertanyaan “kepo” lainnya. Baru kemudian setelah jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut terungkap, marilah kita sama-sama membuat kesimpulan dan memberikan saran berikut masukan. Tahapannya hampir-hampir sama kok dengan membuat skripsi atau tesis heheh... latar belakang dulu, kerangka teori, analisis, baru kesimpulan dan saran. Kalau belum pula selesai dengan latar belakang sudah lompat ke kesimpulan kan dimarahi dosen pembimbing nanti, hehehe. Kalau dalam kehidupan ya dosen pembimbingnya Tuhan. Dimarahi sama Allah kalau kita mudah menyimpulkan dan berprasangka ke mana-mana tak tentu arah kemudian menyebarkan berita atau informasi yang belum pula akurat.

Maka marilah... kita garap tesis kehidupan sama dengan kita garap tesis di universitas. Polanya sama. Pelan-pelan..., terstruktur, jelas.... dan yang terpenting jujur, hindari hoax... heheh #ganyangHoax

4 Oktober 2018

Haringga Sirla, Mentalitas Bangsa yang Rusak, dan Omong Kosong Program Pemerintah


#dukabolakita #persijahargamati #persibhargamati hingga merembet ke #turunkanketuaPSSI dan ribuan hashtag lainnya yang memenuhi beranda media sosial kita, adalah bentuk reaksi digital berbagai elemen masyarakat dalam menyikapi kasus Haringga Sirla, suporter Persija Jakarta yang meninggal dikeroyok suporter Persib Bandung.

Diskusi demi diskusi digelar, ibaratnya jamur di musim hujan, televisi dan media cetak kita tiba-tiba berubah menjadi “begitu peduli” pada nasib persepakbolaan Indonesia berikut suporternya. Padahal ini bukan problem yang baru lagi. Sudah lama dendam antar klub-klub ini terjadi, menjadi seperti api dalam sekam, coba disembunyikan tapi ujung-ujungnya meledak juga. Naasnya, perhatian pada hal-hal seperti ini hanya akan bertahan satu atau dua minggu saja pasca ada korban jiwa, setelahnya.... lupa, menunggu korban selanjutnya jatuh untuk kemudian didiskusikan lagi dari layar tv satu ke layar tv yang lainnya. Akankah selamanya demikian? Melayangnya nyawa seseorang hanya akan menjadi diskusi panjang tanpa ujung yang jelas dan tanpa solusi yang konkrit.
Kalaupun diskusi berdurasi 1 sampai 2 jam di tiap televisi itu berupaya mencari final solution, maka sejauh ini yang muncul ke permukaan hanya lah solusi-solusi global, yang menurut hemat saya jauh dari masalah fundamental yang sering terjadi antar suporter.

Pokok permasalahan persekusi oleh suporter sepak bola di Indonesia bisa jadi bukan hanya soal kurang tegasnya peraturan. Bisa jadi masalahnya bukan hanya di level regulasi, tapi justru di akar rumput. Berbicara regulasi tidak akan ada habisnya, kita barangkali hanya akan koleksi pasal-pasal yang dirundingkan begitu lama dan panjang dan menelan biaya tak murah untuk memberi makan siang pihak-pihak pembuat kebijakan. Ujung-ujungnya pasal tersebut mangkrak, lupa tak digunakan.
Kenapa kita tidak mencoba memperdalam inti permasalahan dalam bentrok suporter sepak bola itu sendiri? Problemnya adalah: Apa pun sanksi yang diberikan oleh pemerintah/pengurus pusat untuk klub sepak bola atau bahkan pengurus suporter, tidak akan berpengaruh besar terhadap suporter akar rumput. Menurut mereka nyawa tetap dibayar oleh nyawa. Bisa dibayangkan betapa rumitnya hal yang begini kan? Suporter bisa jadi tidak akan peduli, mau klubnya didenda kek, mau main kek, mau enggak kek, dendam di kalangan suporter akar rumput akan terus menjadi bahan provokasi di stadion saat klub berlaga.

Kadang selain melulu membahas mengenai cara menghukum, mendenda, dan segala macam gertakan yang lain, kita juga perlu membahas mengenai mentalitas masyarakat bangsa ini. Karena problemnya bisa jadi di mental suporter tersebut. Banyak orang yang melakukan kerusuhan di stadion, bahkan TIDAK TAHU APA YANG SEDANG DIBELANYA. Yang dia tahu, saya bonek, saya bobotoh, viking, aremania, the jack dan lain-lain, “masa bodo mau ada pertandingan atau nggak, klubnya kalah atau enggak, pelatihnya becus atau enggak, dia nyaman di tribun atau enggak” asal datang pakai baju dan atribut klub kesayangan (saya nggak yakin juga oknum yang suka ngeroyok2 itu beli tiket lho), kumpul-kumpul, cari masalah, selesai.

Problemnya lagi-lagi ada pada mental bangsa ini. Kalau mentalnya sakit ya perilakunya ngglambyar (ngawur). Sebenarnya melalui tulisan ini saya sekaligus ingin menyampaikan bahwa saya pribadi masih memiliki harapan besar pada program bernada bombastis yang diusung Pak Jokowi di awal pemerintahan dahulu, yakni “Revolusi Mental”. Pertama mendengar program tersebut saya gembira sekali, negeri ini butuh sekali ditata mentalitasnya, ditata pikirannya, entah dengan cara apa lagi sebab dengan cara hukuman pun kerap tidak mempan. Apa perlu di rukyah begitu, entah... saya masih memikirkannya juga. Sayangnya, tidak tahu apa saya yang kurang update atau memang programnya yang kurang jalan, tapi kok saya sendiri sebagai salah satu warga negara Indonesia belum merasakan faedah dari program Revolusi Mental yang konon katanya menelan anggaran ratusan miliar. Barangkali saya salah, silakan di koreksi, tapi untuk bahan bacaan mengenai program Revolusi Mental ini mungkin artikel dari tirto.id bisa jadi rujukan: https://tirto.id/jargon-kosong-program-revolusi-mental-cPLw

23 Agustus 2018

Para Pendulang Pujian


Dunia maya membuat kita makin menjadi-jadi. Satu kali posting, menambah was-was berkali-kali lipat. Mengecek lagi postingan, memastikan ada yang like, comment, atau segala perlakuan media sosial lainnya.
Ditambah lagi ada fitur ask me. Semiskin itu kah sampai mengiba dan mengemis perhatian dan pertanyaan. Didikan apa yang sejatinya sedang coba dilakukan media sosial masa kini.
Tak berhenti sampai di situ, masih ada pula yang mengemis “tell me 3 facts about me”. Ya Allah.... rasa-rasanya sungguh gemas. Kalau kata orang jogja barangkali dengan logat khasnya “Njuk Ngopo”...... untuk apa menanyakan diri sendiri ke orang lain, kan yang lebih tahu tentang dirimu yang kamu sendiri. Bahkan orang bijak mengatakan “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.”
Lalu, masih ada lagi yang berdalih... “Kan menanyakan pendapat orang lain terhadap diri kita bisa jadi bahan koreksi diri”
Untuk menjawab dalih tersebut hanya bisa dengan pertanyaan lagi, yakni... “Oya... bisa jadi bahan koreksi diri? Lalu apakah iya, facts-facts about me yang dibuat teman-teman instagram mu itu jujur?” Mana ada hari gini orang yang hanya sebatas teman ig tak terlalu dekat mau komentar dengan jujur mengenai kekurangan dan kelebihanmu. Yang ada... mereka akan memposting segala kebaikanmu dan kemudian kamu akan memposting balik kebaikan mereka yang kamu buat-buat itu. Oh.... poor you are. Para pendulang pujian. Sebegitu sepinya kah kalian dari pujian hingga mengaisnya ke sana ke mari. Tidakkah ibu, ayah, atau saudara-saudaramu memberikan pujian tulus yang berarti di rumah sana?
Ayolah... menjadi sedikit berkelas. Berhenti menjadi pendulang pujian. Itu hanya menunjukkan dirimu haus kasih sayang. Di dunia nyata tak sebahagia itu ya lalu lari ke dunia maya? Hmm.