20 November 2019

Dari Vital Menjadi Viral


Terkadang pening betul kepala ini melihat informasi yang berhambur tak karuan di media-media. Ini sudah macam anak SD yang jengah dengan pelajaran sekolah di siang bolong, lalu dikuasai kantuk tak tertahan, namun seketika terdengar bunyi bel nyaring ditelinga. Maka berhamburlah mereka menyerbu gerbang, ingin segera pulang, entah untuk makan atau main di lapangan. Begitulah kira-kira ilustrasinya. Sesak bejubel tak karuan informasi jaman sekarang. Semua orang bisa melaporkan, lalu kebohongan saling berkelindan dengan kenyataan, fakta pun terabaikan, pokok masalah pun kabur jadi samar-samar.

Kini untuk mendapatkan berita apa yang paling penting saja, kita harus susah payah dulu menemukan media atau portal online yang akurat, berimbang. Untuk betul-betul melihat isu apa yang kini sedang dan harus mendapat perhatian, kita harus perang dulu melewati ribuan lapisan hoax dan  berbagai informasi viral yang tak jarang nirfaedah. Jadi sekarang, apa yang viral segera naik ke permukaan, sedangkan yang vital bisa saja malah terabaikan.

Sebut saja beberapa waktu yang lalu CNN melakukan liputan khusus bersama tim peneliti ke puncak Jayawijaya di Papua. Mereka mengabadikan “salju terakhir” untuk sesuatu yang selama ini kita sebut-sebut sebagai “salju abadi”. Nyatanya, karena pemanasan global yang semakin tak terbendung, es di puncak Jayawijaya terus mencair dan diprediksi akan segera menghilang selamanya dalam beberapa waktu ke depan. Tanpa ada media yang mengabarkan informasi ini, jangan heran jika tiba-tiba ada anak bangsa yang dengan bangga di 50 tahun mendatang menyebut bahwa “Indonesia juga punya salju. Salju abadi bahkan, di puncak gunung di Papua”, padahal salju itu telah mencair, hilang, gone puluhan tahun yang lalu.

Tayangan eksklusif tentang salju terakhir di Jayawijaya itu sayangnya disiarkan oleh media asing yang membuka kantor di Indonesia, namun justru sepi dari perhatian media dalam negeri. Ke mana yang lainnya? Isu lingkungan memang kerap menjadi anak tiri di sini. Masyarakat kita lebih gemar dengan isu politik yang tiada usainya. Bahkan seorang teman saya pernah bilang, “Baru juga Pilpres 2019 digelar, media kita sudah sibuk membahas Pilpres 2024”. Ada benarnya. Lalu kapan isu yang lain kebagian tempat kalau yang bertengger di atas panggung: politik lagi politik lagi.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Menaklukkan batin yang berkecamuk bukan ihwal mudah. Pertama-tama harus kendalikan nafsu, lalu pikiran, kata, dan perbuatan. Tahap demi tahapnya haram dilewati. Sebab batin adalah makhluk abstrak. Bersemayam di balik lapisan daging yang dibalut baju dan segala pernik. Sulit mengendalikannya. Tapi kita pasti bisa. Sebab itu dalam tubuh kita. Menyatu dengan darah dan udara dalam tubuh. Bagian dari kita. 

Abah dan Sebuah Nasihat Kehidupan

Kala masih kecil, aku pernah dengan menggebu2 berhambur ke arah Abahku.. dengan penuh antusias kuceritakan pada Abah bahwa ada seseorang yang sangat sangat rajin, ia membaca banyak buku, bahkan saking rajinnya.. ia tak pernah tak tidur dalam keadaan membawa buku. Itu artinya, dia membaca sepanjang waktu terjaganya, hingga kantuk tiba ia tetap membaca buku. 

Abah dengan tenang menjawab, "ngapain begitu itu... tidur ya tidur, ndak usah bawa buku. Sebelum tidur itu ya wudlu dulu, berdoa dulu, pakai selimut". 

Lalu aku hanya tertegun saat itu, menyadari bahwa cerita hebatku dimentahkan oleh jawaban Abah.

Kini aku sadar, benar juga jawaban Abah, lucu mengingat masa masa kecil. Anak kecil selalu penuh gairah, mudah terperangah. Nah.. jika kita sudah dewasa namun masih mudah silau dengan yang berkilau... mudah kagum pada apa yang tak umum... apa bedanya kita dengan masa kecil dulu? Hehe. 

15 November 2019

Sunset di Selat Sunda


Source: Dokumen pribadi penulis

Beberapa minggu yang lalu saya dan suami berkesempatan melakukan perjalanan ke pulau sebrang, melalui jalur darat. Dari kota Serang menuju ke Pelabuhan Merak, membutuhkan waktu cukup singkat, kurang lebih satu jam. Kami membeli tiket dengan biaya 15 ribu per orang untuk kapal laut kelas ekonomi.
Perjalanan menyeberang dari Merak ke Bakauheni tidak memakan waktu yang lama, kurang dari 3 jam saja. Kala perahu merapat di tepi daratan Lampung Selatan, mata kami seketika berbinar-binar dan ada gembira yang meletup-letup. Ini menjadi kali kedua bagi saya menyeberang antar pulau menggunakan kapal laut, sebelumnya saya pernah menyeberang dari Jawa ke Bali, pelabuhan Ketapang ke Gilimanuk.
Sangat indah. Tentu saja. Memandang lautan yang kehijauan dan langit yang biru, menyatu begitu padu. Diiringi burung-burung camar yang terbang di sepanjang pantai. Juga segarnya bakau yang berjajar dipinggir pulau pulau kecil. Hampir sempurna.
Tapi sungguh, tidak ada yang benar-benar sempurna. Sebab ini dunia bukan surga. Di balik keindahan pemandangan yang memanjakan mata sepanjang perjalanan, kami hampir lupa bahwa ada banyak pelajaran kehidupan yang berharga.  Kenyataannya, perjalanan Merak Bakauheni tak seindah deskripsi para turis atau pelancong dalam buku-buku travelingnya. Sebab ada peluh yang beradu dengan lelah dalam diri para sopir truk antar pulau itu. Setiap hari hidupnya berkutat pada aspal dan laut. Ia seolah tak bisa mengelak, sebab itu bukan pilihan. Ada pula khawatir dalam diri para penjaja pop mie dan rokok eceran di atas perahu. Ada ketakutan dalam diri para perantau yang hendak pulang ke kampung halamannya, sebab gagal mendapat pekerjaan impian. Tak lupa, ada juga rindu diam-diam menyergap hati para karyawan kantoran yang ngelaju tiap akhir minggu. Rindu bertemu keluarga, rindu memeluk orang tua, istri, anak, atau bahkan cucu.  
Semua beradu menjadi satu, di dalam perahu itu.  Dalam tatapan mata mereka, banyak kisah yang diam tak bersuara. Hanya berlinang-linang seperti kerling air laut, tak hendak ke mana-mana. Foto di atas adalah sekelumit keindahan dari perjalanan beberapa waktu lalu. Tak untuk ditafsirkan apa-apa. Tapi percayalah banyak getir yang tidak tertangkap kamera, tapi dirasakan tiap-tiap penumpang di dalamnya.

Pendidikan dan Lapangan Kerja

Source: https://tekno.tempo.co/
Melalui akun twitter @setkabgoid, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia memperkenalkan nama-nama menteri baru di Kabinet Indonesia Maju dibawah kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf. Pada poin ke 17, cuitan tersebut menyebut nama Nadiem Anwar Makarim sebagai Mendikbud. Mantan CEO Gojek ini digadang-gadang akan mampu  membuat terobosan signifikan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), yakni dengan cara menyiapkan SDM yang siap kerja. Bahkan disebut pula bahwa melalui tangan Nadiem, akan dapat tercipta kesinambungan atau link and match antara pendidikan dengan industri.
Cuitan yang disukai oleh ribuan pengguna twitter ini justru menimbulkan khawatir selain senyum kecil karena wajah baru yang kini mengisi pemerintahan. Pertanyaannya, tepatkah visi menyiapkan SDM siap kerja tersebut melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan?
Kekhawatiran yang muncul kemudian adalah, jangan-jangan institusi pendidikan hanya digunakan sebagai mesin pencetak generasi siap kerja, untuk tidak menyebutnya dengan kata buruh. Tidakkah itu terasa terlalu mengerdilkan tujuan dari pendidikan. Seolah hanya sebagai komoditas industri dan bisnis belaka? Semoga dengan angin segar yang berhembus, tidak datang badai yang mengerikan. Semilir angin gunung memang terkadang sejuk, tapi tidak jarang mengerikan. Semoga Nadiem Anwar Makarim mampu membawa pendidikan ke arah yang murni sesuai amanat UUD. Selamat bertugas!

14 November 2019

MOVE

Sekitar enam belas tahun yang lalu, kala saya masih duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar, menjadi penulis adalah sebuah impian besar. Di usia yang sama, teman sekelas saya umumnya bercita-cita menjadi dokter, tentara, polisi, atau guru. Tapi entah kenapa menulis menjadi sebuah passion bagi saya, sebuah panggilan jiwa. Di usia yang masih kanak itu, bacaan kegemaran saya adalah cerita pendek di rubrik khusus milik Kompas Anak, yang terbit hanya tiap hari Minggu. Praktis, akhir pekan menjadi saat-saat yang selalu saya nantikan, “Ada cerita apa lagi Minggu ini?” begitu seterusnya pertanyaan dalam benak ini. Sampai pada suatu ketika saya memberanikan diri mengirim cerita-cerita pendek ke redaksi Kompas Anak. Tanpa ekspektasi apa pun, pure ala anak kecil. Saya dengan tekun mengetikkan paragraf demi paragraf cerita itu di komputer berlayar tebal dengan windows 98 nya. Ah... haru mengingatnya, itu komputer pertama di keluarga kami, Abah yang beli. Beberapa kali tulisan saya ditolak, tapi sekali lagi, dengan tanpa ekspektasi maka saya tidak kecewa atau sakit hati, saya kirim lagi. Toh, Kompas dengan baik hati selalu mengirim balik naskah tulisan saya sembari membubuhkan satu lembar surat dari redaksi dan menjelaskan alasan penolakan mereka. Alasan-alasan itu menjadikan saya belajar banyak, “Oh... ternyata saya kurang nya di sini..” begitu seterusnya.

Menginjak masa SMP, kegemaran saya tidak berubah. Saya masih istiqomah menulis di komputer windows 98 itu. Saya simpan file-file tulisan dengan rapi, masih tanpa ekspektasi. Menulis adalah sebuah passion, dan bagi saya tulisan itu lahir tanpa harus dibaca siapapun, tanpa perlu diakui bagaimanapun, dan tanpa perlu dipuji apapun. Saya yang menulis, saya yang menikmati. Sehingga kerap kali saya buka-buka sendiri file itu, mengamati ulang tulisan saya, mengoreksi kata demi kata, kalimat demi kalimat yang kurang padu padannya. Kala SMP saya pun sudah mulai upgrade diri, bukan hanya menulis cerita pendek tapi sudah mulai menulis novel. Teenlit istilah gaulnya. Ceritanya tentu saja kebanyakan kisah cinta remaja. Tapi saya juga kerap menulis puisi-puisi, hasil refleksi diri terhadap sekeliling. Sungguh mengasyikkan. Sampai suatu ketika, SMP saya akan menerbitkan majalah sekolah perdana, sehingga dibutuhkan pengurus majalah. Saya pun menjadi salah satunya. Inilah pertama kali tulisan saya dimuat dan dibaca banyak orang (barangkali). Saat majalah sekolah itu terbit, saya pandangi saja tulisan yang saya buat tercetak di atas lembarannya. Beberapa rekan yang membaca majalah itu kemudian segera menggodai saya karena nama “Hamidah” terpampang dengan jelas di sana. Saya bangga. Saya merasakan pertama kali dalam hidup, ini yang namanya pengakuan dan apresiasi. Tapi kemudian saya tahu, itu juga menjadi saat pertama dalam hidup saya untuk tidak pure lagi, saya sudah memiliki ekspektasi dalam menulis. Sesuatu yang bisa menjadi baik, bisa pula menjadi racun.

Memasuki bangku SMA, saya tetap merawat hobi menulis. Untuk pertama kalinya di tahun 2010, saya menerbitkan secara digital tulisan-tulisan saya di sebuah blog, bernama sebatangmimpi.blogspot.com. Blog ini yang kemudian menjadikan saya tidak lagi introvert menyimpan file-file tulisan di dalam komputer. Ini juga seiring saya sudah mempunyai laptop sendiri, kegiatan menulis pun bisa semakin fleksibel dilakukan di mana saja, sesaat setelah ide melintas di benak. Teman-teman SMA saya juga mengetahui kegemaran ini, beberapa dari mereka bahkan dengan senang hati mengunjungi blog saya, membaca tulisan-tulisannya, dan meninggalkan komentar. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya, jika mereka menikmati hasil karya sederhana itu. Meski beberapa memuji, namun tak sedikit yang usil lalu menggodai saya dengan memanggil-manggil, “Hei, sebatang mimpi!” atau, “Hei, Hamidah Semi!”. Semi merujuk pada singkatan dari nama blog sebatang mimpi itu. Saya tidak malu, gengsi, atau sangsi, bagi saya apresiasi dapat dilontarkan dalam beragam bentuk. Saya senang teman-teman mengenal saya sebagai “si gadis gemar menulis”. Beberapa teman juga menunjukkan dukungannya dengan mendorong saya untuk menerbitkan tulisan-tulisan di blog menjadi sebuah buku. Saya senang atas dorongan itu, tapi belum saya wujudkan.

Memasuki masa-masa kuliah, saya kehabisan waktu untuk menulis. Saya sibuk mengerjakan tugas, berorganisasi, hingga bekerja paruh waktu di media lokal Kota Malang. Menyesal? Hm... tidak juga. Karena meski hobi saya menulis terbengkalai, dan saya hampir-hampir saja kehilangan gairah dalam menulis, tapi saya tahu dan dapat memastikan, kala itu saya tengah sibuk untuk hal-hal yang tidak kalah baik untuk diri dan masa depan.
Sebatang mimpi masih baik-baik saja hingga akhir tahun 2016-an, kadang terisi tulisan, kadang tidak, seluangnya waktu saja. Hingga saya terkesiap, apabila nama adalah doa, akankah sebatang mimpi hanya akan selamanya menjadi sebatang mimpi, tanpa pernah tumbuh menjadi pohon lalu berubah menjadi taman, berkembang menjadi hutan rindang, bahkan sampai menjadi paru-paru dunia? Padahal harapan saya sebatang mimpi bukan hanya menjadi sebongkah kayu saja, saya berharap dia bertumbuh kembang, memiliki rekan dan kawanan, menebar kebaikan, lewat tulisan.
Lalu sekira tahun 2017-an saya mengubah sebatang mimpi menjadi perspektif hamidah, tempat saya menuangkan berbagai pemikiran, apa pun. Agar sudut pandang itu ikut mengisi dan mewarnai riuh rendah pemikiran di tengah belantara media sosial yang kian ramai pengguna. Seiring berganti nama menjadi perspektifhamidah.blogspot.com, saya pun sedikit banyak mulai menulis pemikiran saya terkait sosial, politik, dan budaya, tidak hanya cerita fiktif.

Kini perspektif hamidah mendapat dukungan dari suami saya, ia membantu saya mengubahnya menjadi sebuah website. Meski berbayar, ia yakin itu akan baik untuk saya mengembangkan hobi ini menjadi sesuatu yang berguna bagi orang banyak. Menulis bagi saya saat ini bukan hanya sebuah hobi dan passion saja, karena saya sadar harus membubuhkan sedikit ekspektasi di dalamnya, tentu dalam takaran yang wajar dan seperlunya. Sebab, mendiamkan tulisan dalam komputer pribadi saya tidak akan bermanfaat apa-apa selain menjadi penghibur diri sendiri kala waktu senggang. Tapi membagikannya pada dunia luas, barangkali dapat menghadirkan manfaat pula bagi orang lain yang membacanya, sedikit atau banyak.

Saya teringat suatu ketika Ignasius Jonan pernah berkata “Misalnya Tuhan memberi kita usia 75 tahun maka: Pada 25 tahun pertama hidup kita lebih banyak menerima. Dan 25 tahun berikutnya, hidup haruslah seimbang menerima dan memberi. Pada 25 tahun ketiga, harus lebih banyak memberi daripada menerima”. Maka bagi saya yang akan segera memasuki tahap 25 tahun kedua hidup ini, saya berupaya dan (masih) berlatih untuk memberi (meski sedikit), setelah 25 tahun pertama telah saya lewati dengan lebih banyak menerima.

Semoga dapat bermanfaat untuk khalayak luas. Terima kasih.