16 Desember 2015

#pagiperpustakaan lepas dari tiga bulan :')

Barangkali memang tepat bila ada orang yang berkata “apa yang kita baca mempengaruhi diri kita”. Saat ini saya tengah mengalami hal tersebut, yang praktis dalam tiga setengah bulan ini berkutat dengan buku-buku karangan wartawan tiga zaman, Rosihan Anwar.
Sebelumnya, tidak pernah tersentuh sama sekali oleh saya buku-buku karangan beliau, bahkan sebagai mahasiswa jurusan ilmu komunikasi saya merasa berdosa tidak pernah mengenal nama beliau sebelumnya. Mungkin masa kejayaan nya sebagai wartawan terlampau jauh dari masa studi saya saat ini. Rosihan Anwar adalah pemimpin harian Pedoman yang menjadi koran nomor wahid di Indonesia kala tahun 50-an. Bila boleh mengutip pendapat Prof Alwi: Pedoman itu sebagaimana Kompas masa kini, yakni koran tempat diskusi dan koran yang mampu membuat tema-tema yang diangkat selalu jadi perbincangan seluruh rakyat Indonesia.
Tiga setengah bulan mencoba bermesra dengan sosok Pak Ros (sapaan akrab beliau) demi mendapatkan inti sari pola pemikirannya terkait Jurnalisme Indonesia yang berguna untuk Tugas Akhir perkuliahaan saya di Universitas Brawijaya, menjadikan saya kemudian tau banyak hal, mengamati dan peduli berbagai hal, yang sebelumnya sama sekali tak terlintas dalam benak.
Judul skripsi ini pula yang kemudian membawa saya melakukan perjalanan ke Jakarta pertama kali seorang diri menggunakan kereta api selama 17 jam, untuk menemui kerabat sekaligus kolega Pak Ros yakni nama yang sebelumnya sudah saya sebutkan diatas: M. Alwi Dahlan. Beliau kemudian akrab di sapa dengan panggilan Prof Alwi sebab menjabat guru besar FISIP Universitas Indonesia.
Perjalanan menemui mantan Mentri Penerangan era Soeharto ini juga perlu perjuangan. Saya harus memulai dengan pendekatan pada sekretaris jurusan UI terlebih dahulu yakni Dr. Eduard Lukman, agar mendapat rekomendasi wawancara pada beliau. Dari pengalaman tersebut ada pelajaran penting dalam hidup yang selama ini tak pernah saya temui secara langsung namun hanya kerap kali saya dengar, yakni kalimat “padi semakin berisi semakin merunduk”. Ini benar saya temukan pada sosok Prof Alwi Dahlan, sebab usai menghubungi beliau via pesan singkat dengan harapan supaya tak menganggu kegiatan, justru ada satu panggilan yang mendarat di handphone saya kala tengah bergulat dengan ratusan lembar koran Pedoman di Perpusnas jalan Salemba. Ada suara yang tak cukup jelas dari sebrang telfon memulai percakapan sebagai berikut: “Halo, saudari Hamidah? Saya Alwi Dahlan. Saya persilahkan ke rumah saya jika hendak wawancara terkait Pak Rosihan Anwar”
Seketika kemudian haru menguasai dada dan mata, ini bukan sekedar perasaan bahagia sebab proses wawancara skripsi saya terjamin lancar, namun sebab sikap seorang “Manusia Komunikasi” (buku Manusia Komunikasi adalah kumpulan tulisan rekan Alwi Dahlan dalam rangka memperingati ulang tahun beliau ke-75 tahun) yang kemudian sangat rendah hati dan memberikan saya pelajaran maha berharga.
Dari sosok Prof Alwi, kemudian saya kembali lagi pada sosok Pak Rosihan. Muncul wajah beliau yang ‘terlalu’ sering saya tatap di sampul buku “Menulis dalam Air: sebuah otobiografi”. Saya sangat terharu. Betapa, Pak Ros andai saya sempat bertemu, barangkali saya hanya bisa merunduk malu.... belum apa-apa yang saya lakukan terkait skripsi ini namun keluhan demi keluhan tak henti terlontar pagi siang malam. Sepanjang tiga setengah bulan ini saya baru sadar, munafik memang bicara tentang skripsi tanpa peduli ijazah dan gelar, tapi dibalik kedua hal tersebut kemudian saya temukan soul dalam tugas akhir ini. Bukan, bukan hanya tentang S.Ikom semata, tapi lebih dari pada itu, pengalaman, pelajaran, cara pandangan, perjuangan, dan semua tentang Pak Ros dan koleganya yang kini sudah dipanggil Tuhan terlebih dulu atau masih hidup dalam usia udzur, semuanya menginspirasi saya... semua nya kemudian menjadi cambuk bagi saya, bahwa hidup memang akan selalu berakhir, sehingga pertanyaan nya bukan kapan akan berakhir, tapi apa yang bisa dilakukan sebelum berakhir?

Sebagai penutup tulisan yang tanpa sengaja saya ketik dalam keadaan mata berkaca-kaca ini, saya hendak kutip petuah dari Buya Hamka (rekan Pak Ros juga), sebagai berikut:
Kalau hidup sekedar hidup, Babi di hutan juga Hidup.
Kalau bekerja sekedar bekerja, Kera juga bekerja.

Sebab itulah mari kita sama-sama cari makna dalam hidup ini. Semoga kita bukan golongan orang-orang yang hanya hidup sekedar hidup. Amin.  / 121215

18 September 2015

Penjaja Koran dan Free Wifi


#pagiperpustakaan kali ini lagi ogah bahas skripsi hehehe, sebenernya bukan apa-apa sih, tapi karena ada hal lain yang lebih menarik perhatianku pagi ini di perpustakaan, selain berlembar-lembar kisah hidup Pak Rosihan Anwar :)
Di teras depan perpustakaan yang mulai sesak dengan mahasiswa ini, aku melihat lelaki bertopi abu-abu tengah menjajakan sesuatu sambil memekikkan kata “Koran.. koran”, kemudian menunjukkan sampul depan kertas tersebut, sebuah foto bencana alam banjir dan tanah longsor di Aceh.
Berbicara tentang berita tersebut, sebenarnya aku sudah membaca dari internet sejak beberapa waktu yang lalu. Dapat dengan lengkap kuperoleh informasinya, bahkan link berita lanjutannya pun langsung muncul dibagian akhir berita. Dengan sangat mudah, runtut, dan rinci, dalam sekejap aku bisa mengetahui kronologi kejadian apapun di belahan dunia manapun, hanya dengan bantuan Internet, dan... tentu wartawannya (hehe, ini yang paling penting. Ada internet tanpa ada wartawan, mustahilkan kan menjadi sebuah berita?)
Kembali kulihat si bapak penjaja koran, sejenak kemudian ku terbangkan pandangan ke bagian atas teras perpustakaan. Di sana tergantung sebuah benda berbentuk bulat pipih yang tak henti berkedip-kedip dengan lampu warna hijaunya. Kita semua sepakat menyebutnya wifi.
Jadi.... kira-kira mana yang lebih dipilih manusia masa kini, terutama dalam lingkup kecil perpustakaan universitas? Membeli kertas koran seharga 4000 rupiah, atau mengeluarkan laptop yang dibelikan Ayah kemudian menekan tombol turn on wifi dan selanjutnya dapat berselancar di dunia tanpa batas.
Penjaja koran dan wifi gratis, menjadikanku miris. Ternyata, tanpa kita sadari, dunia telah perlahan-lahan menelan manusia-manusia setia seperti si bapak penjaja koran. Perlahan-lahan dunia modern telah membatasi kita berinteraksi secara langsung atau tatap muka dengan orang lain. Kita terkadang memilih untuk lebih praktis, apatis, dan menganggap bahwa meninggalkan komentar berupa tulisan di kolom pembaca digital sudah bisa disebut sebagai salah satu jenis interaksi.

Coba bayangkan, alangkah indahnya jika di pagi se dingin ini di Kota Malang, kita hangatkan diri dan hati (terutama) untuk sejenak menyapa penjaja koran, berbasa-basi menanyakan apa headline koran A dan koran B? Kemudian membagikan senyuman sembari menyodorkan uang 5000-an.
“Kembaliannya ambil saja, Pak.”
“Terimakasih Mbak, terimakasih :)”
Ah.... alangkah indahnya dunia, kala mendengar ungkapan terimakasih nan tulus diiringi rekah senyum yang nampak simetris di bibir pekerja keras seperti nya. Barangkali, ketika pulang nanti si Bapak bisa ceritakan pada anaknya bahwa manusia-manusia yang duduk dibalik gedung kokoh perkuliahan bukanlah orang-orang apatis yang ‘sok serius’ dan ‘sok sibuk’, tapi mereka adalah orang-orang baik yang ikhlas berbagi, walau hanya senyum di pagi hari. Siapa tau si Bapak akhirnya punya mimpi, menyekolahkan anaknya hingga ke universitas nanti?
Haha aku terlalu panjang berangan ya?
Setidaknya, pagi ini aku sudah memutuskan membeli koran itu dan berusaha membagikan senyum semangat terbaik yang kumiliki :)

#pagiperpustakaan, jangan lupa tersenyum dan bagikan kebaikan 

31 Maret 2015

Analisis Krisis "Celebrity Big Brother 2007"

URUTAN PERISTIWA:

1.      Channel 4 mulai mengudara pada tahun 1982, bergabung dengan dua saluran lain yakni BBC dan ITV, satu-satunya saluran televisi komersial saat itu.
2.      Masalah ini bermula ketika Shilpa Shetty disebut sebagai 'India' oleh teman serumah nya yang merasa sulit untuk mengucapkan namanya.
3.      Ofcom menerima lebih dari 200 komplain dari penonton, sebab ada dugaan intimidasi rasis yang dilakukan oleh tiga teman serumah Shilpa.
4.      Mendengar adanya komplain tersebut, Channel 4 menyangkal bahwa insiden yang terjadi itu adalah sebuah 'persaingan feminin' dalam reality show.
5.      Dengan adanya pernyataan dari Channel 4 tersebut, jumlah pengaduan justru semakin meningkat, yakni hingga mencapai 8.000 komplain.
6.      Early Day Motion (EDM) melalui Partai Buruh MP Keith Vaz, meminta Channel 4 'untuk mengambil tindakan segera mengingatkan perilaku rasis yang dilakukan teman serumah tersebut tidak dapat diterima'. Tindakan EDM didukung dan disetujui oleh Perdana Menteri Tony Blair, bahkan Sekretaris Kebudayaan yakni Tessa Jowell, menganggap insiden itu sebagai 'rasisme yang disajikan sebagai hiburan'

22 Maret 2015

TYLENOL CASE (studi kasus strategi Public Relations perusahaan Johnson & Johnson)

TYLENOL TALE
Kasus ini mengungkapkan adanya sebuah krisis yang justru membuat publik makin simpati. Hal ini dilakukan Johnson & Johnson melalui penyelidikan sebab keracunan Tylenol.
Urutan peristiwa:
1.      September 1982: Tablet Tylenol menaikkan penjualan terhadap konsumen dewasa sebanyak 35% di Amerika Serikat.
2.      (1 hari kemudian) September 1982: Terjadi kematian di daerah Chicago (3 korban)
3.      Berawal dari meninggalnya 3 orang, muncul berita-berita korban jiwa lainnya yang jika ditotal sebanyak 250 kematian.
4.      Johnson & Johnson menguji 8 juta tablet Tylenol. Hasilnya menunjukkan bahwa kurang dari 75 tablet telah terkontaminasi, dan semuanya ada di daerah Chicago.
5.      94 % konsumen sadar bahwa tablet Tylenol berkaitan dengan keracunan yang terjadi.

10 Maret 2015

Analisis “BOWATER INCORPORATED – A LESSON IN CRISIS COMMUNICATIONS – By Lisa Maggart”


Krisis yang dialami oleh perusahaan Pabrik kertas koran yakni Bowater, berawal dari sebuah mobil yang menabrak bagian belakang truk bermuatan bahan kimia. Kecelakaan tersebut disebabkan asap tebal yang berasal dari Perusahaan Bowater dan menutupi jalan raya. Kejadian ini dianggap sebagai bencana terburuk sepanjang sejarah Tennesee, sebab menelan 12 korban jiwa dan lebih dari 50 orang terluka. Akibat adanya peristiwa ini, pihak Bowater mengalami krisis, sebab polusi asapnya diduga sebagai penyebab utama kecelakaan yang terjadi. Berbagai gugatan dilayangkan ke pengadilan untuk menuntut perusahaan, sehingga menambah daftar krisis yang menerpa.
Tidak lebih dari 72 jam setelah kecelakaan terjadi, Perusahaan Bowater menunjukkan tindakan yang cepat yakni menunjukkan Astrid Sheil (PR Perusahaan Bowater) sebagai satu-satunya spokesperson. Beberapa tindakan yang diambil Bowater dan Sheil selaku PR perusahaan ini adalah: