1 Oktober 2014

Duduk

Aku berniat memosting tulisan ini semalam, sebab momennya sunggu pas, yaitu akhir dari bulan september dan awal dari musim hujan. Ya.. kemarin 30 september adalah rintik hujan pertama yang ku tahu jatuh di tanah Malang. Sungguh.. musim hujan tentu memiliki banyak cerita menyenangkan :)

Minggu lalu, kaki kananku sekit sekali, selama berhari hari. Sudah kupijat pijat sendiri, sudah pula kuolesi balsem, dan berbagai cara lain kutempuh demi menghilangkan rasa linu yang tak kunjung reda.
Bahkan, aku sering menggantungkan kakiku di tembok, sembari merebahkan badan di kasur, beberapa orang mengatakan itu akan membantu meredakan nyeri.
Kaki yang sakit itu 'dipicu' oleh kebiasaan duduk ku yang mungkin kurang tepat. Kegiatan didalam ruangan kelas dan berbagai aktivitas seabrek lainnya memaksaku mau tak mau harus lebih banyak duduk, ketimbang berdiri atau jalan jalan.
Duduk, akan memuat berbagai macam gaya yang dapat menimbulkan makna makna. Misal, seorang laki-laki akan cenderung duduk dibangku dengan membuka lebar kaki nya, agar terkesan gagah dan manly. Terkadang laki-laki dewasa, juga akan duduk dibangku dengan menopangkan satu kakinya ke kaki yang lain hingga membentuk angka empat atau sudut lancip.
Nah.. begitupun dengan seorang wanita, yang memiliki gaya tersendiri dalam duduknya. Wanita kerap duduk dibangku dengan menopangkan salah 1 kakinya ke kaki yang lain, dengan posisi kaki merapat tertutup. Hal ini akan menimbulkan kesan anggun, feminim dan seterusnya. Hingga, saking lekatnya makna tersebut terhadap masing masing gaya duduk, bisa jadi seorang pria yang duduk dengan gaya wanita akan dianggap tidak keren, banci, dan lain sebagainya.

Aku, melakukan hal yang sama sebagai seorang wanita. Sebenarnya aku duduk dengan gaya wanita seperti yang dijelaskan diatas, bukan untuk mengesankan apa apa. Sebab, mungkin sudah lazimnya seorang wanita duduk demikian, maka secara alamiah aku melakukan hal yang sama, yaitu duduk dengan posisi kaki menopang pada salah satu kaki lainnya.
Karena terlalu sering melakukan posisi tersebut dalam dudukku. Walhasil kaki kananku pun sakit, linu, dan pegal tak reda reda.

Dari tragedi kaki sakit ini, membuatku merenung sesaat. Betapa, kaki saja bisa sakit jika ditimpa, kaki saja bisa pegal tak karuan jika harus menopang kaki yang lain, padahal mereka sepasang, sudah seharusnya beriringan dan saling membantu dalam segala hal. Bagaimana dengan manusia, yang walaupun berkasih sejatinya bukanlah benar benar sepasang. Bagaimana dengan manusia yang terkadang terlalu bergantung pada yang lain, terlalu menekan, terlalu menuntut dan lain sebagainya, bukankah lama kelamaan akan ada satu belah pihak yang merasa tersakiti? Merasa linu, ngilu, pegal dan lelah? Belajarlah dari filosofi sepasang kaki wanita yang tengah duduk. Belajarlah. Mari kita belajar, memahami, bijaksana, dan mandiri. / hamidah 27 september 2014

28 Agustus 2014

Tarik nafas panjang

Kutarik nafas panjang
Tak coba untuk kuhembuskan
Ingin kumampatkan
Biar membeku.
Biar tak mudah lagi terasa hangat oleh temaram bohong bohongan.
Kemudian terasa gumpalan sampah bercampur riak hendak menyembur, memuntahkan segala keluh dan kecewa
Apalah daya Tuhan..
Aku kehilangan keberanianku berhembus.

27 Agustus 2014

Cukup aku, Jangan kalian!

Senin, 4 agustus 2014 (sedikit terlambat kuposting tulisan ini, sebab sebelumnya kusimpan saja di memo handphone)

Ini adalah awal bulan agustus yang semoga berfaedah untukku dan orang orang sekelilingku.
Alhamdulillahirabbilalamin, hari ini adalah hari pertamaku mengajar di sebuah sekolah sma islam yang dirintis orang tua ku dan teman temannya.
Sebenarnya, aku mengajar di sma tersebut hanya dalam waktu singkat, barang sebulan atau dua bulan saja, sebab hanya untuk menggantikan guru mata pelajaran yang tengah cuti melahirkan.
Namun.. hari ini adalah pengalaman berharga di usiaku yang ke 20 tahun. Mengenakan seragam keki berwarna kuning tua, kemudian memasangkan jilbab di kepalaku, mengendarai motor dan lima belas menit kemudian memasuki gerbang sebuah sekolah yang terbilang cukup sepi di hari senin pertama masuk sekolah setelah libur panjang lebaran.
Kutarik nafas panjang, berharap segala keberkahan dan kebaikan mengiringi setiap langkah langkah ini. Sebab ada hal yang lebih penting dan mulia dari sebuah pengalaman yang dikejar kejar jiwa muda, yaitu semangat perjuangan.

Tak lama, aku pun segera menemui seorang guru yang sudah lebih dulu datang di ruang kantor. Beliau tengah membersihkan ruangannya sendiri, sebab seperti yang telah ku sebutkan: ini adalah perjuangan, sehingga tak ada pejuang yang bermalas-malas. Pejuang tak boleh manja meminta tukang sapu membersihkan kantornya, sebab gajinya sendiri bulan lalu bahkan belum pula turun dan dapat dinikmati.
Setelah membantu membersihkan ruang guru, aku menemui murid-murid yang juga disibukkan di hari pertama masuk sekolah. Mereka menyapu ruang ruang kelas sembari bersenda gurau dengan rekan. Melebur rindu yang menggumpal setelah berminggu minggu tak bersua.

Segera setelah kelas-kelas bersih, para murid kelas 1 hingga kelas 3 pun diarahkan menuju ruangan yang paling besar, kemudian mereka mendapatkan wejangan wejangan mengenai kurikulum 2013 sebagai acuan terbaru, juga mengenai peraturan peraturan sekolah yang diperketat.
Sembari menyimak pula apa yang tengah disampaikan bapak guru yang saat itu menjadi rekan ku, aku memandangi satu persatu wajah murid murid itu, yang sejatinya usia mereka hanya selisih dua sampai tiga tahun lebih muda dariku.
Oh... mereka sungguh muda.. anak anak muda... aku juga pernah menjadi mereka, duduk diam diatas bangku bangku kayu yang kaku, kemudian mendengar petuah petuah guru yang dulu aku sebut kolot dan membosankan. Oh... mereka sungguh muda, bahkan aku masih ingat betul pernah menjadi remaja remaja berseragam abu abu putih seperti mereka, aku pernah menjadi seperti mereka yang merasa mulai dewasa dan paling benar. Ya.. beberapa tahun yang lalu aku adalah mereka, dan aku menyesali masa masa itu.

Kuamati lagi satu persatu murid murid itu, mereka cantik, mereka hitam, mereka pendek, tinggi, para gadis berjilbab, para lelaki berambut cepak, beberapa yang lain rambutnya panjang bergaya anak band. Menyedihkan... menyenangkan... kasihan...
Beberapa rasa tiba tiba serentak beradu dalam batinku, hingga tak mampu menciptakan mimik muka yang menarik di wajahku pagi itu.

Aku ingat betul.... justru karena aku ingat betul pernah menjadi manusia setengah setengah seperti mereka, justru karena aku tau betapa merugi membuang masa sma hanya dengan bermain main atau sibuk gengsi dan gaya belaka, justru itu aku tau.. aku terlalu tau hingga kini aku telah sadar.. betapa banyak kutumpahkan waktuku diperjalanan dengan sia sia, betapa aku pernah lama sekali mendholimi diriku sendiri... Karena itulah aku merasa cukup aku yang pernah begitu, jangan kalian.
Aku ingin kalian sadar, murid murid manisku.., bahwa percuma sibuk dengan kawan, lawan, suka palsu, main main, dan haha hihi mu itu... percuma.. sungguh lebih baik kau rintis masa depan dan kau bangun istana mimpimu, hingga saat dewasa yang sesungguhnya telah tiba.. kau tak merasa kosong, kau tak melompong.

Berhentilah menipu orang lain terlebih menipu dirimu, berhenti murid murid sayangku.. cukup aku... cukup aku sebagai gurumu kali ini, yang pernah merasa sia sia di masa lalu, jangan kalian./ Hamidah 08:18 pm

19 Juni 2014

The Fish and A Ring


;
sumber: weheartit.com/entry/80339964/
I had a story titled
"The Fish And A Ring" 
this story tell us about King that can guess what will happen in the future, or maybe its known with a fortune teller. 


One day, the King seeing something about what will happen with his son, that still child. and he is very surprised and dismey (worry) because in the future his son will marry with a poor girl. 

so the king decided to go tho the poor girl's house. after found the home, he saw a doleful  (very sad; murung) man in front of the door. so he asked to the man, "What happened to you, why you look so doleful?"

"Its because i had a six child, and i cant give them some food." said the man.

"Dont be sad again, i will bring your last child, and i will keep your child. dont worry, i promise" The king looks very wise.

of course the old man happy when hear that, finally he give his child.

but, when the king pass the river, he throw away the child, because he dont want his son married with the poor girl in the future.

Nice fate happened to the poor child, he floating in the river and a fisherman found her. 

then, someday when the king going to fishing in the river with his friend, they are very thirsty, and then stopped in fisherman hut.

The King very surprised when know a girl that he throw away in the past still alive. so he planning to throw the girl to the forest far away from the city. 

the next day, the king's son going to hunting animals in the forest, and the fate happened, he meet with the poor girl, and falling in love. he wed the girl, and live happily ever after.

(I get this story from digital book stories in "Play Store", so if you wanna read another story, grab that fast! enjoy)

4 Mei 2014

Seutuhnya ●

Menjadi "seutuhnya" itu memanglah indah.

Seutuhnya Jawa, kau akan bahagia dengan campursari nya yang bercerita tentang angliyak numpak prau layar, tentang tamasya hingga sore hari, dan tentang lambaian wit klopo yang serasa memanggilmu untuk segera merapat kembali ke darat.

Seutuhnya menjadi Indonesia, akan membuatmu bangga menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Tak sekedar mengangkat telapak tanganmu dan menempelkan ujungnya ke pelipis. Tapi lebih dari itu, kau akan bergidik mendengar lantunan hawa kemerdekaan yang bagai sihir terkandung dalam lirik "Indonesia Raya".

Seutuhnya menjadikan kita setia.
Tiada malu dengan apa, siapa, kenapa, bagaimana dia.
Seutuhnya, menjadikan kita TOTAL, mustahil mendua!

Hamidah/ latepost 1 april 2014/ #NP angliyak numpak prau layar

27 April 2014

Merhaba Rajab! 

Tiba-tiba sudah Bulan Rajab saja, tiba-tiba pula sudah usia 20 saya hahaha, sebentar lagi bulan puasa, bulan bulan penuh lomba, lomba meraih ridho-Nya, lomba meraih surga, lomba menjadi lebih baik, dan... berlomba-lomba pula mencapai hajatan-hajatan yang belum diizinkan Allah Ta'ala. Barangkali jika kita rajin merayu pada Tuhan lewat doa dan perangai yang mulia, Beliau akan iba kemudian bimsalabim :)
aku masih akan terus percaya "MAN JADDA WA JADDA". usaha keras takkan pernah berkhianat, Hamidah. /27 april 2014, disela hiruk pikuk kehidupan, ditengah karomah dan kasih sayang-Nya. Innallaha ma'ana

21 April 2014

Generasi yang dibungkam mulutnya dan haram bertanya

Hari ini aku ke pasar minggu kota malang, pasar yang hanya akan ada pada hari minggu pagi ini menjual berbagai macam barang dengan harga miring.
Ada satu cerita yang kubawa dari jalan jalan pagi yang membuat gerah itu..
Ketika ada seorang penjual mainan anak berupa tikus tikusan, katak, cicak, dan hewan hewan semacam itu yang berbentuk lentur sekali seperti jeli, jika mainan itu dilempar maka akan melentur seolah hendak pecah, tapi akan kembali lagi ke bentuk semula. Sontak beberapa anak kecil sibuk melongokkan wajahnya melihati mainan ajaib tersebut, jangan kan mereka yang masih kecil, aku dan kakakku yang sudah dewasa saja cukup terkesima melihatnya, dan inilah kalimat yang muncul dari seorang anak kecil laki laki berkaus lengan pendek.
Mungkin kini dia masih duduk di sd kelas 1 atau 2, "pak.. ini cara buat nya gimana?" Itulah pertanyaan sederhana darinya, sungguh sederhana bukan.
Bapak penjual mainan yang bertopi seperti bang ocit ala sctv itu pun menjawab "ya nggak buat, ini bapak juga beli" jawabnya enteng. Tatapan anak kecil itupun masih penuh tanya, dahinya mengkerut sedikit, tanda tanya masih menyeruak di kepalanya, tentu saja aku tau sebabnya, karena pertanyaannya tak membuahkan jawab.
Aku pun merenung sejenak, inilah generasi kita.. generasi kecil.. daun muda indonesia yang kelak memimpin bangsa. Mereka pandai, mereka cerdas, banyak pertanyaan pertanyaan hebat didalam benak, namun sekian banyak itu pula yang tak mendapatkan jawab.

Sadarkah, kita di didik untuk tidak bertanya. Kita di didik untuk tidak tahu asal mula, kita di cetak menjadi generasi yang suka praktis, apatis, dan tau final saja. Kita tak pernah diajari proses, yang penting adalah hasil. Generasi konsumen bukan produsen. Seperti halnya mainan tadi, andaikan si penjual bukanlah distributor akhir dari china atau manusia manusia berlabel luar negeri, andaikan si penjual tadi adalah produsen nya, maka tentu pertanyaan bocah kecil itu mudah terjawab, pertanyaan yang bisa membuahkan pengetahuan dan ilmu berharga. Siapa tahu anak kecil itu mampu berinovasi dan melahirkan ide lebih cemerlang, melakukan perbaikan terhadap produk yang sudah ada. Menyenangkan bukan. Jika sudah begini salah siapa? Sebenarnya aku tak benar benar ingin tahu siapa subjek yang salah, mungkin lebih tepat jika kita memperbaiki kesalahan yang sudah berlangsung cukup lama. Mari menciptakan generasi produktif yang inovatif dan berkualitas./Hamidah 20 april 2014, menjelang lahirnya pejuang yang membuka sekat sekat kebodohan di masyarakat pribumi, salam kemerdekaan yang hakiki RA. Kartini

11 Februari 2014

Bahu Jalan

Lagi-lagi aku mengomentari benda benda mati yang membubuhkan bagian tubuh manusia sebagai kata penjelasnya.
Jika aku sempat menanyakan dimanakah letak leher langit jika ada yang biasa kita sebut kaki langit, kini aku menanyakan seberapa besar ukuran tubuh jalan raya, karena kemarin sore kala aku menunggu angkutan di pinggiran trotoar, aku mengamati bahu jalan yang nampak muram menyedihkan. 
Bahu jalan, dimana sampah-sampah menepi dari hembus laju bus kota yang tak pernah bisa santai.  
Bahu jalan, dimana aku berdiri menunggu motor-motor itu mau berbaik hati, memberi sedikit kesempatan pada ku untuk berpindah posisi ke sebrang jalan. 
Bahu jalan, rupanya juga tempat untuk bersandar sambil menangis pilu kala lelah hidup menghinggapi mu. 
Bahu jalan, mungkinkah bisa sama dengan bahu manusia?
Maukah ia menerima keluh, air mata, bahkan ingus kita?
Bahu jalan, semoga sebaik bahu-bahu manusia yang tulus menerima sandaran kawannya.
/Hamidah 10 Februari2014 Catatan perjalanan hari ini

buku anak smp itu berjudul "indahnya masa pubertas"

Siang ini ditengah-tengah liburan semester yang kuhabiskan di kampung halaman, aku harus ke Kota Malang untuk menyelesaikan urusan technical meeting mc. Seperti biasa, aku akan lebih memilih naik angkutan umum colt daripada bus. Kebetulan siang ini angkutan yang kunaiki penuh sesak dengan anak-anak berseragam yang baru pulang sekolah. Para pelajar itu nampak mengenakan baju putih dan bawahan berwarna putih pula, karena ini adalah hari senin. Di lengan sebelah kanan mereka ada sebuah badge bertuliskan "SMPN 4", tentu saja itu adalah sekolah dimana aku menempuh ilmu kurang lebih 5 tahun yang lalu. 
Ku amati saja muka-muka polos mereka, yang barangkali tak jauh beda dengan "hamidah 5 tahun lalu", hmmm aku mengulum senyum di bibir yang sengaja kutahan. 
Pelajar kecil berjilbab yang duduk bersebrangan denganku, bahkan masih menggunakan badge berwarna hijau dan tertera cukup besar angka VII Romawi disana, itu menunjukkan ia masih duduk di bangku kelas 7 atau 1 SMP. Ia memangku sebuah buku berjudul "Indahnya Masa Pubertas". 

Kali ini masih bisakah aku menahan senyum? Tentu saja judul di sampul buku itu membuatku kelimpungan karena berusaha menahan senyum didalam angkutan sesak ini. 
Aku pun berhasil menenangkan diri.
Pada awalnya aku memang menganggap judul buku itu cukup "konyol" dan bahkan "kontroversial", namun aku tiba-tiba termangu... mengeja kembali buku yang berbentuk seperti LKS (Lembar Kerja Siswa) yang kini masih diatas pangkuan bocah manis itu. 

Ya, bukankah masa pubertas memang indah. Bukankah masa-masa SMP seperti mereka memang menyenangkan? Berangkat sekolah pukul setengah tujuh, kemudian belajar hingga siang dan pulang. Tidur siang dan bangun berangkat mengaji ke TPQ lantas malamnya mengerjakan PR dan kembali bermimpi indah. Tidakkah kau merindukan schedule yang dulu kau anggap sedemikian monoton itu? 
Belum lagi jika hari minggu, pergi bermain kerumah teman dengan dalih mengerjakan tugas kelompok yang pada akhirnya justru berganti agenda menjadi sarana bermain dan bercerita. Berenang ke kolam renang umum yang tentu saja sangat akrab di telinga anak-anak kecil di Kepanjen. 
Tentu berbeda dengan sekarang, kau seorang mahasiswa yang harus berkejaran dengan jadwal tak menentu. Harus sibuk luar biasa hingga tengah malam bahkan sesekali tanpa tidur sedetikpun, namun kau juga tak boleh kaget kala harus menganggur tanpa kerjaan sama sekali hingga tiga bulan karena libur semester genap. 
Sekali lagi "indahnya masa pubertas" boleh jadi benar, masa itu memang indah, masa-masa mulai mengenal mana yang tampan dan masa dimana mulai malu-malu karena rasa suka terhadap lawan jenis.

Tapi, jangan tertipu kemasan, karena kebanyakan yang platinum otaknya akan jauh lebih memukau kala dewasa, ketimbang yang platinum wajahnya. Benar begitu bukan? :)
Hamidah 10Februari2014 #kisahangkutan

10 Februari 2014

Puisi (1)


Haruskah kata "apa kabar" yang pertama kutuliskan, untuk mengawali interaksi yg entah telah berapa lama tak lagi terjalin antara kita
Tidakkah sebaiknya aku mengawali ini dengan kalimat "selamat pagi cinta, the sun come to see your smile"
Kalimat yang selalu kuingat sebagaimana aku mengingat gosok gigi pagi
Bohong.
Mustahil.
Bohong dan mustahil aku tak merindu.
Sungguh dalam terjaga atau terpejamnya mataku adalah melihatmu.
Entah kenapa kau tiba tiba menjelma sungguh berharga.
Mungkin kau hanyalah sebotol air keruh, tapi kau berada tepat di hamparan gurun tandus
Maka sungguh kau adalah potongan surga yang jatuh ke bumi
Berlebihankah aku memujimu?
Sudahkah aku nampak seperti wanita linglung karena termankan rindu?
Ku coba menahan sesuatu yang terus memantul, seolah ada pegas yang hendak melompatkan hatiku hingga ia tanpa kontrol terus berusaha mencari degupmu.
Kucoba memadamkan sesuatu yang terus berkobar, otakku seolah meletup letup bak kembang api tahun baru, ia terus menerus memikirkan mu.
Entah kau mau tahu atau tidak, yang kini kurasakan adalah kecamuk yang menggebu
Aku masih sakit, jasmani dan rohaniku/Hamidah, januari

8 Februari 2014

Melangitkan doa



Selesai. Aku selesai menyimak habis-habisan dari akhir hingga awal
Aku membaca terbalik fragmen fragmen hidupmu yang kau selipkan lewat kata demi kata yang aku tak tahu kesungguhan dan kenyataan itu.
Nyatanya kita jauh.
Aku hanya pengintip yang tak hendak muncul kepermukaan,
Terus saja berdiam dibalik selimut kulit domb,a dan mencoba menghangatkan diri dari kemenggigilan ini.
Jika jodoh, takkan kemana, ingatlah Tuhan akan menghimpun segala yang terserak. 
Sejauh apapun jarak, bahkan andai seluruhnya beda tiada sama, jika Allah “Ya”, semua akan “Ya”.

“Stalking itu adalah siap tau masa lalunya dan tidak boleh ada kecewa setelahnya”

6 Februari 2014

"Menghimpun yang Terserak"


Menyatukan yang dua
Menunggalkan yang ganda
Dan menghapus penyekat
Merubah kata saya dan kamu menjadi kita
Membagi tak hanya yang gula tapi racun jua
Dunia dan akhirat, sampai tiada terhingga waktu berjalan. Sesungguhnya hanyalah akhlak yang baik yang mampu menjadikan kemanunggalan tersebut abadi dan barakah, bahagia dan sakinah.


"Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya, memberkahi mereka berdua dan kiranya Allah meningkatkan kualitas keturunan mereka, menjadikan pembuka pintu-pintu rahmat, sumber ilmu dan hikmah, serta pemberi rasa aman bagi ummat" -Doa Nabi Muhammad SAW pada pernikahan putri beliau Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib.

Melihat undangan pernikahan yang berdatangan, dan membaca kalimat ini dihalaman muka undangan. Ini memang bulan bulan ramai orang menikah. Kau kapan? Hahaha:))

5 Februari 2014

Rumah Tanpa Ibu

Rumah itu dingin
Rumah itu melompong
Bukan melompong dari benda, tapi melompong akan hangat
Sinar matahari yang menembus kaca, merobek tirai-tirai luush, kemudian menyeka sekujur sudut ruangan.
Debu-debu yang nampak seperti berlian lalu berkilau-kilau diterpa cahaya vertikal.
Rumah itu bukan rumah duka
Tapi rumah itu dingin.
Matahari tak bisa menggantikan hangat didalamnya yang jika dikenang teramat mengharukan.
Rumah itu kemudian menjadi hambar.
Tak ada suara sibuk didapur menggoreng camilan
Tak ada suara air kran mencuci wadah-wadah makanan
Tak ada bisik lirih membangunkan mata-mata kantuk yang malas.
Tak ada gesek sapu pada lantai, dan bahkan tak ada gertak sayang pada gadis-gadis mungil yang enggan berjamaah ke surau.
Rumah itu piatu,
Penghuni nya pun begitu.
Tanpa ibu.
Rengek merea seolah tak laku, takkan mampu mengembalikan sesuatu apapun itu.
Hanya ada lutut kurus yang terlipat dan didekap dengan erat.
Hanya ada bibir tipis yang memucat karena digigit kuat-kuat.
Semua takkan kembali, selamanya takkan lagi.
Sudah terlanjur semuanya terjadi.

puisi ini kubuat beberapa bulan yang lalu dan sempat mendekam lama di memo handphone ku. "Rumah Tanpa Ibu" ini terinspirasi dari kisah hidup saudara keponakan ku yang masih kecil-kecil dan harus piatu karena ibunya meninggal dunia. Kepergian ibunya yang mendadak tanpa ada tanda-tanda seperti sakit yang cukup lama, membuat mereka tentu terpukul hebat. 
Kini, kabar terbaru yang kudapat, mereka Alhamdulillah baik-baik saja. sudah bisa mandiri, memasak dan mencuci, sesekali masih dibantu Bapaknya yang usianya sudah mulai "sepuh". 
"Rumah Tanpa Ibu", itu bagaikan pagi tanpa matahari;(