16 April 2019

Membanggakan Orang Tua atau Dibanggakan Orang Tua?


Di tengah era ketatnya persaingan eksistensi diri, baik di dunia nyata maupun dunia maya, publik kerap kali gusar. Di mulai dari orang tua yang mengambil keputusan dalam menyekolahkan anaknya sedari SD saja, pertimbangan terkait eksistensi dan pride tidak bisa dipisahkan. Memilih menyekolahkan anak di SD X bukan hanya karena alasan kualitas pendidikannya yang baik, namun juga karena lingkar pergaulannya yang merupakan kelas menengah atas. Bahkan faktor agama kerap kali di abaikan. Misal, anak orang beragama Islam memaksakan diri masuk ke sekolah non Islam hanya karena alasan sekolah tersebut lebih terkenal atau keren, meskipun jelas tanpa mendapat bimbingan dan pendidikan agama yang sesuai.
Didikan dari orang tua sedari kecil inilah yang kemudian akan melahirkan anak-anak yang bimbang antara dua pilihan kala beranjak dewasa, yakni “Membanggakan Orang Tua atau Dibanggakan Orang Tua?”.

Dan sebagaimana kita tahu, fenomena saat ini condong menunjukkan publik yang lebih memilih “Membanggakan orang tua”. Misal, anak kuliahan yang memakai mobil mewah ke kampus dengan sejuta gaya, padahal itu pemberian orang tua, bukan hasil usaha sendiri. Misal, berlaku sewenang-wenang ketika melanggar lalu lintas dan berlindung di balik nama besar orang tuanya yang barang kali pejabat daerah setempat. Bahkan....., hingga....., nyaleg (mencalonkan diri sebagai anggota legislatif) di suatu daerah dengan memberikan keterangan diri sebagai “Putra dari Mantan Menpora RI”. Then? Why? Kalau dalam istilah jogja, “Njuk?”. Apakah itu identitas diri yang patut dituliskan di baliho-baliho alat peraga kampanye seorang caleg? Siapa dia, silahkan Anda cari sendiri. Yang jelas ada hehe.

Kultur kita yang terbiasa untuk “membanggakan orang tua” kemudian menjadikan orang yang bukan anak siapa-siapa seolah tidak memiliki panggung untuk berkesempatan menunjukkan eksistensi diri.

Sebuah konsep menarik pernah disampaikan suami saya, bahwa orang tua lah yang seharusnya bangga dengan kita, bangga memiliki anak seperti kita, sehingga kita harus berikan yang terbaik, bukan kita yang membanggakan apa yang telah dibuat oleh orang tua kita. Yang patut membanggakan hasil jerih payah orang tua kita adalah kakek nenek kita. Jalan kita masih panjang. Masih banyak tenaga tersimpan. Jangan manja dengan membawa nama-nama yang lebih dulu ada di depan kita. Kita buat nama kita besar dengan cara kita sendiri. Biarkan orang mengenal siapa diri kita dari prestasi kita sendiri, bukan dari orang tua atau bahkan orang lain.

5 April 2019

Pelukan Si Kampung Halaman yang Dingin


Pulang ke kampung halaman adalah hal yang menyenangkan, sebab di sanalah tempat tangis kita pertama kali pecah, di sana tempat kita pertama kali jatuh dari belajar sepeda roda dua, dan di sana pula tempat kita pertama kali mengerti betapa bermaknanya arti sebuah keluarga.

Kemudian pulang kampung menjadi sebuah ritual yang dinanti-nantikan setiap jiwa yang merantau. Bisa jadi ritual tersebut dilakoni hanya setahun sekali kala lebaran atau hari besar agama lain. Bisa juga ritual tersebut dilakukan dua kali, kala lebaran dan akhir tahun. Macam-macam. Aku sendiri yang merantau 246 kilometer jauhnya dari rumah, merasakan pulang kampung adalah momen luar biasa menyenangkan yang hanya bisa dirasakan 2 hingga 3 kali dalam setahun, sebab libur anak kuliahan tidak banyak, hanya tiap akhir semester saja.

Tapi pulang kampungku kali ini membawa rasa berbeda, selain menjadi momen bahagia, ada pula momen menyedihkannya. Aku baru menyadari bahwa diriku mulai berubah. Benar-benar baru menyadari. Kampung halamanku, Malang, Jawa Timur, memang daerah yang terletak di dataran tinggi, sehingga hawa dingin adalah sahabat kami. Bagiku, suhu belasan derajat dan mandi dingin menjelang subuh bukanlah mustahil, sangat kuat tubuh ini menahan gigil. Namun, baru dua tahun aku menetap di Jogja, tubuhku ternyata sudah berubah. Aku pulang kampung dan merasakan dingin sekujur tubuh, dengan ujung jari tangan dan kaki yang sedikit beku tak nyaman.

Wahai kampung halaman, darah yang mengalir di nadiku seharusnya masih darah Malang, namun ternyata Jogja sudah cukup mengurat di tubuhku. Baiklah, aku terima dengan suka cita segala perubahan itu. Aku siap dengan segala perubahan-perubahan lainnya, dan kota-kota lain yang harus kutaklukkan. Kini, aku mungkin telah melebur dalam Jogja, namun aku tidak akan pernah mau tenggelam, tanpa membawa Malang.