#pagiperpustakaan kali ini lagi ogah bahas skripsi hehehe, sebenernya bukan apa-apa sih, tapi karena ada hal lain yang lebih menarik perhatianku pagi ini di perpustakaan, selain berlembar-lembar kisah hidup Pak Rosihan Anwar :)
Di teras depan
perpustakaan yang mulai sesak dengan mahasiswa ini, aku melihat lelaki bertopi
abu-abu tengah menjajakan sesuatu sambil memekikkan kata “Koran.. koran”,
kemudian menunjukkan sampul depan kertas tersebut, sebuah foto bencana alam
banjir dan tanah longsor di Aceh.
Berbicara tentang
berita tersebut, sebenarnya aku sudah membaca dari internet sejak beberapa waktu yang lalu. Dapat dengan lengkap
kuperoleh informasinya, bahkan link
berita lanjutannya pun langsung muncul dibagian akhir berita. Dengan sangat
mudah, runtut, dan rinci, dalam sekejap aku bisa mengetahui kronologi kejadian
apapun di belahan dunia manapun, hanya dengan bantuan Internet, dan... tentu
wartawannya (hehe, ini yang paling penting. Ada internet tanpa ada wartawan,
mustahilkan kan menjadi sebuah berita?)
Kembali kulihat si
bapak penjaja koran, sejenak kemudian ku terbangkan pandangan ke bagian atas
teras perpustakaan. Di sana tergantung sebuah benda berbentuk bulat pipih yang
tak henti berkedip-kedip dengan lampu warna hijaunya. Kita semua sepakat menyebutnya
wifi.
Jadi.... kira-kira
mana yang lebih dipilih manusia masa kini, terutama dalam lingkup kecil
perpustakaan universitas? Membeli kertas koran seharga 4000 rupiah, atau
mengeluarkan laptop yang dibelikan Ayah kemudian menekan tombol turn on wifi dan selanjutnya dapat berselancar
di dunia tanpa batas.
Penjaja koran dan wifi gratis, menjadikanku miris.
Ternyata, tanpa kita sadari, dunia telah perlahan-lahan menelan manusia-manusia
setia seperti si bapak penjaja koran. Perlahan-lahan dunia modern telah
membatasi kita berinteraksi secara langsung atau tatap muka dengan orang lain.
Kita terkadang memilih untuk lebih praktis, apatis, dan menganggap bahwa
meninggalkan komentar berupa tulisan di kolom pembaca digital sudah bisa disebut
sebagai salah satu jenis interaksi.
Coba bayangkan,
alangkah indahnya jika di pagi se dingin ini di Kota Malang, kita hangatkan
diri dan hati (terutama) untuk sejenak menyapa penjaja koran, berbasa-basi
menanyakan apa headline koran A dan
koran B? Kemudian membagikan senyuman sembari menyodorkan uang 5000-an.
“Kembaliannya ambil
saja, Pak.”
“Terimakasih Mbak,
terimakasih :)”
Ah.... alangkah
indahnya dunia, kala mendengar ungkapan terimakasih nan tulus diiringi rekah
senyum yang nampak simetris di bibir pekerja keras seperti nya. Barangkali,
ketika pulang nanti si Bapak bisa ceritakan pada anaknya bahwa manusia-manusia
yang duduk dibalik gedung kokoh perkuliahan bukanlah orang-orang apatis yang
‘sok serius’ dan ‘sok sibuk’, tapi mereka adalah orang-orang baik yang ikhlas
berbagi, walau hanya senyum di pagi hari. Siapa tau si Bapak akhirnya punya
mimpi, menyekolahkan anaknya hingga ke universitas nanti?
Haha aku terlalu
panjang berangan ya?
Setidaknya, pagi ini
aku sudah memutuskan membeli koran itu dan berusaha membagikan senyum semangat
terbaik yang kumiliki :)
#pagiperpustakaan,
jangan lupa tersenyum dan bagikan kebaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?