Manusia memang seperti air yang selalu mencari titik rendah ternyaman.
Ketika sudah sampai pada pelukan hilir, air kesulitan untuk menuju hulu
kembali.
Kemudian matahari yang berjasa memanas dan menjadikannya uap
hingga berbaur dengan awan di langit-langit.
Kita pun begitu, enggan beranjak.
Dalam perut ibunda kita enggan keluar, maka menangis
sejadi-jadinya si bayi kala hangat rahim berganti menjadi dingin ruang
persalinan.
Dalam masa kanak enggan beranjak remaja. Enggan keluar dari
rumah dan pergi merantau untuk sekolah.
Dari sekolah enggan lagi beranjak. Tak mau kembali pulang ke
kampung halaman. Hingar bingar kota dan segala modernitasnya mengelabuhi
jiwa-jiwa kita. Di desa hanya ada tanah becek berlumpur dan seruling bambu yang lumutan untuk dimainkan di atas kerbau. Tak ada pekerjaan berdasi untuk lulusan
perguruan tinggi negeri.
Dari perantauan enggan untuk menikah. Tak maulah dikekang. Hidup
sudah enak sendiri. Untuk apa cari pendamping dan susah-susah jadi istri.
Begitulah kehidupan, terus memaksa kita untuk bergerak, beranjak,
berubah, tapi kita juga terus enggan, terus mencari titik nyaman yang entah di
sudut bumi bagian mana letaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?