26 Oktober 2018

Enggan


Manusia memang seperti air yang selalu mencari titik rendah ternyaman. Ketika sudah sampai pada pelukan hilir, air kesulitan untuk menuju hulu kembali.
Kemudian matahari yang berjasa memanas dan menjadikannya uap hingga berbaur dengan awan di langit-langit.
Kita pun begitu, enggan beranjak.
Dalam perut ibunda kita enggan keluar, maka menangis sejadi-jadinya si bayi kala hangat rahim berganti menjadi dingin ruang persalinan.
Dalam masa kanak enggan beranjak remaja. Enggan keluar dari rumah dan pergi merantau untuk sekolah.
Dari sekolah enggan lagi beranjak. Tak mau kembali pulang ke kampung halaman. Hingar bingar kota dan segala modernitasnya mengelabuhi jiwa-jiwa kita. Di desa hanya ada tanah becek berlumpur dan seruling bambu yang lumutan untuk dimainkan di atas kerbau. Tak ada pekerjaan berdasi untuk lulusan perguruan tinggi negeri.
Dari perantauan enggan untuk menikah. Tak maulah dikekang. Hidup sudah enak sendiri. Untuk apa cari pendamping dan susah-susah jadi istri.
Begitulah kehidupan, terus memaksa kita untuk bergerak, beranjak, berubah, tapi kita juga terus enggan, terus mencari titik nyaman yang entah di sudut bumi bagian mana letaknya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?