#dukabolakita #persijahargamati
#persibhargamati hingga merembet ke #turunkanketuaPSSI dan ribuan hashtag lainnya
yang memenuhi beranda media sosial kita, adalah bentuk reaksi digital berbagai
elemen masyarakat dalam menyikapi kasus Haringga Sirla, suporter Persija Jakarta
yang meninggal dikeroyok suporter Persib Bandung.
Diskusi demi diskusi digelar,
ibaratnya jamur di musim hujan, televisi dan media cetak kita tiba-tiba berubah
menjadi “begitu peduli” pada nasib persepakbolaan Indonesia berikut suporternya.
Padahal ini bukan problem yang baru lagi. Sudah lama dendam antar klub-klub ini
terjadi, menjadi seperti api dalam sekam, coba disembunyikan tapi ujung-ujungnya
meledak juga. Naasnya, perhatian pada hal-hal seperti ini hanya akan bertahan satu
atau dua minggu saja pasca ada korban jiwa, setelahnya.... lupa, menunggu korban
selanjutnya jatuh untuk kemudian didiskusikan lagi dari layar tv satu ke layar tv
yang lainnya. Akankah selamanya demikian? Melayangnya nyawa seseorang hanya
akan menjadi diskusi panjang tanpa ujung yang jelas dan tanpa solusi yang
konkrit.
Kalaupun diskusi berdurasi 1
sampai 2 jam di tiap televisi itu berupaya mencari final solution, maka
sejauh ini yang muncul ke permukaan hanya lah solusi-solusi global, yang menurut
hemat saya jauh dari masalah fundamental yang sering terjadi antar suporter.
Pokok permasalahan persekusi
oleh suporter sepak bola di Indonesia bisa jadi bukan hanya soal kurang tegasnya
peraturan. Bisa jadi masalahnya bukan hanya di level regulasi, tapi justru di
akar rumput. Berbicara regulasi tidak akan ada habisnya, kita barangkali hanya
akan koleksi pasal-pasal yang dirundingkan begitu lama dan panjang dan menelan
biaya tak murah untuk memberi makan siang pihak-pihak pembuat kebijakan. Ujung-ujungnya
pasal tersebut mangkrak, lupa tak digunakan.
Kenapa kita tidak mencoba
memperdalam inti permasalahan dalam bentrok suporter sepak bola itu sendiri? Problemnya
adalah: Apa pun sanksi yang diberikan oleh pemerintah/pengurus pusat untuk klub
sepak bola atau bahkan pengurus suporter, tidak akan berpengaruh besar terhadap
suporter akar rumput. Menurut mereka nyawa tetap dibayar oleh nyawa. Bisa dibayangkan
betapa rumitnya hal yang begini kan? Suporter bisa jadi tidak akan peduli, mau
klubnya didenda kek, mau main kek, mau enggak kek, dendam di kalangan suporter akar
rumput akan terus menjadi bahan provokasi di stadion saat klub berlaga.
Kadang selain melulu membahas
mengenai cara menghukum, mendenda, dan segala macam gertakan yang lain, kita
juga perlu membahas mengenai mentalitas masyarakat bangsa ini. Karena problemnya
bisa jadi di mental suporter tersebut. Banyak orang yang melakukan kerusuhan di
stadion, bahkan TIDAK TAHU APA YANG SEDANG DIBELANYA. Yang dia tahu, saya bonek,
saya bobotoh, viking, aremania, the jack dan lain-lain, “masa bodo mau ada
pertandingan atau nggak, klubnya kalah atau enggak, pelatihnya becus atau
enggak, dia nyaman di tribun atau enggak” asal datang pakai baju dan atribut
klub kesayangan (saya nggak yakin juga oknum yang suka ngeroyok2 itu beli tiket
lho), kumpul-kumpul, cari masalah, selesai.
Problemnya lagi-lagi ada
pada mental bangsa ini. Kalau mentalnya sakit ya perilakunya ngglambyar
(ngawur). Sebenarnya melalui tulisan ini saya sekaligus ingin menyampaikan
bahwa saya pribadi masih memiliki harapan besar pada program bernada bombastis
yang diusung Pak Jokowi di awal pemerintahan dahulu, yakni “Revolusi Mental”. Pertama
mendengar program tersebut saya gembira sekali, negeri ini butuh sekali ditata
mentalitasnya, ditata pikirannya, entah dengan cara apa lagi sebab dengan cara
hukuman pun kerap tidak mempan. Apa perlu di rukyah begitu, entah... saya masih
memikirkannya juga. Sayangnya, tidak tahu apa saya yang kurang update atau
memang programnya yang kurang jalan, tapi kok saya sendiri sebagai salah satu
warga negara Indonesia belum merasakan faedah dari program Revolusi Mental yang
konon katanya menelan anggaran ratusan miliar. Barangkali saya salah, silakan
di koreksi, tapi untuk bahan bacaan mengenai program Revolusi Mental ini
mungkin artikel dari tirto.id bisa jadi rujukan: https://tirto.id/jargon-kosong-program-revolusi-mental-cPLw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?