4 Oktober 2018

Haringga Sirla, Mentalitas Bangsa yang Rusak, dan Omong Kosong Program Pemerintah


#dukabolakita #persijahargamati #persibhargamati hingga merembet ke #turunkanketuaPSSI dan ribuan hashtag lainnya yang memenuhi beranda media sosial kita, adalah bentuk reaksi digital berbagai elemen masyarakat dalam menyikapi kasus Haringga Sirla, suporter Persija Jakarta yang meninggal dikeroyok suporter Persib Bandung.

Diskusi demi diskusi digelar, ibaratnya jamur di musim hujan, televisi dan media cetak kita tiba-tiba berubah menjadi “begitu peduli” pada nasib persepakbolaan Indonesia berikut suporternya. Padahal ini bukan problem yang baru lagi. Sudah lama dendam antar klub-klub ini terjadi, menjadi seperti api dalam sekam, coba disembunyikan tapi ujung-ujungnya meledak juga. Naasnya, perhatian pada hal-hal seperti ini hanya akan bertahan satu atau dua minggu saja pasca ada korban jiwa, setelahnya.... lupa, menunggu korban selanjutnya jatuh untuk kemudian didiskusikan lagi dari layar tv satu ke layar tv yang lainnya. Akankah selamanya demikian? Melayangnya nyawa seseorang hanya akan menjadi diskusi panjang tanpa ujung yang jelas dan tanpa solusi yang konkrit.
Kalaupun diskusi berdurasi 1 sampai 2 jam di tiap televisi itu berupaya mencari final solution, maka sejauh ini yang muncul ke permukaan hanya lah solusi-solusi global, yang menurut hemat saya jauh dari masalah fundamental yang sering terjadi antar suporter.

Pokok permasalahan persekusi oleh suporter sepak bola di Indonesia bisa jadi bukan hanya soal kurang tegasnya peraturan. Bisa jadi masalahnya bukan hanya di level regulasi, tapi justru di akar rumput. Berbicara regulasi tidak akan ada habisnya, kita barangkali hanya akan koleksi pasal-pasal yang dirundingkan begitu lama dan panjang dan menelan biaya tak murah untuk memberi makan siang pihak-pihak pembuat kebijakan. Ujung-ujungnya pasal tersebut mangkrak, lupa tak digunakan.
Kenapa kita tidak mencoba memperdalam inti permasalahan dalam bentrok suporter sepak bola itu sendiri? Problemnya adalah: Apa pun sanksi yang diberikan oleh pemerintah/pengurus pusat untuk klub sepak bola atau bahkan pengurus suporter, tidak akan berpengaruh besar terhadap suporter akar rumput. Menurut mereka nyawa tetap dibayar oleh nyawa. Bisa dibayangkan betapa rumitnya hal yang begini kan? Suporter bisa jadi tidak akan peduli, mau klubnya didenda kek, mau main kek, mau enggak kek, dendam di kalangan suporter akar rumput akan terus menjadi bahan provokasi di stadion saat klub berlaga.

Kadang selain melulu membahas mengenai cara menghukum, mendenda, dan segala macam gertakan yang lain, kita juga perlu membahas mengenai mentalitas masyarakat bangsa ini. Karena problemnya bisa jadi di mental suporter tersebut. Banyak orang yang melakukan kerusuhan di stadion, bahkan TIDAK TAHU APA YANG SEDANG DIBELANYA. Yang dia tahu, saya bonek, saya bobotoh, viking, aremania, the jack dan lain-lain, “masa bodo mau ada pertandingan atau nggak, klubnya kalah atau enggak, pelatihnya becus atau enggak, dia nyaman di tribun atau enggak” asal datang pakai baju dan atribut klub kesayangan (saya nggak yakin juga oknum yang suka ngeroyok2 itu beli tiket lho), kumpul-kumpul, cari masalah, selesai.

Problemnya lagi-lagi ada pada mental bangsa ini. Kalau mentalnya sakit ya perilakunya ngglambyar (ngawur). Sebenarnya melalui tulisan ini saya sekaligus ingin menyampaikan bahwa saya pribadi masih memiliki harapan besar pada program bernada bombastis yang diusung Pak Jokowi di awal pemerintahan dahulu, yakni “Revolusi Mental”. Pertama mendengar program tersebut saya gembira sekali, negeri ini butuh sekali ditata mentalitasnya, ditata pikirannya, entah dengan cara apa lagi sebab dengan cara hukuman pun kerap tidak mempan. Apa perlu di rukyah begitu, entah... saya masih memikirkannya juga. Sayangnya, tidak tahu apa saya yang kurang update atau memang programnya yang kurang jalan, tapi kok saya sendiri sebagai salah satu warga negara Indonesia belum merasakan faedah dari program Revolusi Mental yang konon katanya menelan anggaran ratusan miliar. Barangkali saya salah, silakan di koreksi, tapi untuk bahan bacaan mengenai program Revolusi Mental ini mungkin artikel dari tirto.id bisa jadi rujukan: https://tirto.id/jargon-kosong-program-revolusi-mental-cPLw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?