Pulang ke kampung halaman adalah hal yang menyenangkan,
sebab di sanalah tempat tangis kita pertama kali pecah, di sana tempat kita
pertama kali jatuh dari belajar sepeda roda dua, dan di sana pula tempat kita
pertama kali mengerti betapa bermaknanya arti sebuah keluarga.
Kemudian pulang kampung menjadi sebuah ritual yang dinanti-nantikan
setiap jiwa yang merantau. Bisa jadi ritual tersebut dilakoni hanya setahun
sekali kala lebaran atau hari besar agama lain. Bisa juga ritual tersebut
dilakukan dua kali, kala lebaran dan akhir tahun. Macam-macam. Aku sendiri yang
merantau 246 kilometer jauhnya dari rumah, merasakan pulang kampung adalah momen
luar biasa menyenangkan yang hanya bisa dirasakan 2 hingga 3 kali dalam
setahun, sebab libur anak kuliahan tidak banyak, hanya tiap akhir semester saja.
Tapi pulang kampungku kali ini membawa rasa berbeda, selain
menjadi momen bahagia, ada pula momen menyedihkannya. Aku baru menyadari bahwa
diriku mulai berubah. Benar-benar baru menyadari. Kampung halamanku, Malang,
Jawa Timur, memang daerah yang terletak di dataran tinggi, sehingga hawa dingin
adalah sahabat kami. Bagiku, suhu belasan derajat dan mandi dingin menjelang
subuh bukanlah mustahil, sangat kuat tubuh ini menahan gigil. Namun, baru dua
tahun aku menetap di Jogja, tubuhku ternyata sudah berubah. Aku pulang kampung
dan merasakan dingin sekujur tubuh, dengan ujung jari tangan dan kaki yang sedikit
beku tak nyaman.
Wahai kampung halaman, darah yang mengalir di nadiku seharusnya
masih darah Malang, namun ternyata Jogja sudah cukup mengurat di tubuhku. Baiklah,
aku terima dengan suka cita segala perubahan itu. Aku siap dengan segala perubahan-perubahan
lainnya, dan kota-kota lain yang harus kutaklukkan. Kini, aku mungkin telah
melebur dalam Jogja, namun aku tidak akan pernah mau tenggelam, tanpa membawa
Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?