5 April 2019

Pelukan Si Kampung Halaman yang Dingin


Pulang ke kampung halaman adalah hal yang menyenangkan, sebab di sanalah tempat tangis kita pertama kali pecah, di sana tempat kita pertama kali jatuh dari belajar sepeda roda dua, dan di sana pula tempat kita pertama kali mengerti betapa bermaknanya arti sebuah keluarga.

Kemudian pulang kampung menjadi sebuah ritual yang dinanti-nantikan setiap jiwa yang merantau. Bisa jadi ritual tersebut dilakoni hanya setahun sekali kala lebaran atau hari besar agama lain. Bisa juga ritual tersebut dilakukan dua kali, kala lebaran dan akhir tahun. Macam-macam. Aku sendiri yang merantau 246 kilometer jauhnya dari rumah, merasakan pulang kampung adalah momen luar biasa menyenangkan yang hanya bisa dirasakan 2 hingga 3 kali dalam setahun, sebab libur anak kuliahan tidak banyak, hanya tiap akhir semester saja.

Tapi pulang kampungku kali ini membawa rasa berbeda, selain menjadi momen bahagia, ada pula momen menyedihkannya. Aku baru menyadari bahwa diriku mulai berubah. Benar-benar baru menyadari. Kampung halamanku, Malang, Jawa Timur, memang daerah yang terletak di dataran tinggi, sehingga hawa dingin adalah sahabat kami. Bagiku, suhu belasan derajat dan mandi dingin menjelang subuh bukanlah mustahil, sangat kuat tubuh ini menahan gigil. Namun, baru dua tahun aku menetap di Jogja, tubuhku ternyata sudah berubah. Aku pulang kampung dan merasakan dingin sekujur tubuh, dengan ujung jari tangan dan kaki yang sedikit beku tak nyaman.

Wahai kampung halaman, darah yang mengalir di nadiku seharusnya masih darah Malang, namun ternyata Jogja sudah cukup mengurat di tubuhku. Baiklah, aku terima dengan suka cita segala perubahan itu. Aku siap dengan segala perubahan-perubahan lainnya, dan kota-kota lain yang harus kutaklukkan. Kini, aku mungkin telah melebur dalam Jogja, namun aku tidak akan pernah mau tenggelam, tanpa membawa Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?