20 Oktober 2011

Tidak Sama Sekali
Oleh : Hamidah Izzatu Laily

Tatapanku berhambur pada seluruh penjuru meja kerja, tak terarah jelas kemana. Diatas meja itu ada bertumpuk-tumpuk lembaran kertas kerja, berwarna-warni map, dan lagi bolpoint-bolpoint hitam berserakan disana. Pandanganku kosong, aku benar-benar sedang tanpa tujuan. Aku sedang kebingungan memastikan kemana pandangan ini harus kuarahkan dan kutujukan.
Semua seakan menjejal otakku. Tak ada yang mau antri, dan tanpa seleksi semua masuk dalam pikiranku. Dan bahkan sampah yang satu ini-pun masih terus mengitari otakku, dengan penasaran dan penuh tanya dia terus mengejar jawabku.
Masih terekam dengan jelas oleh otakku, Rudi temanku dibangku SMA yang kini menjadi temanku dalam bangku kerja. Dia sedang terlilit masalah, yang konon katanya masalah besar, dan tentu masalah besar bagiku pula. Bagaimana tidak, baru beberapa jam yang lalu dia dan pengacaranya menghampiriku kedepan meja kerja ini.
”Aku janji ini terakhir kalinya aku meminta bantuan seperti ini sama kau, Ris. Aku bicara bukan sebagai rekan kerja atau rekan bisnis, aku bicara sebagai seorang teman..sahabat. Sungguh aku butuh bantuan kau di sidang besok siang, semua akan sangat mudah. Tinggal kau ucapkan kesaksian yang sudah kita skenario, lantas kau pulang. Beres kan? Dan pasti akan ada imbalan buat kau, Ris. Sungguh bantu aku Ris, aku tunggu jawaban kau nanti malam.”
Kalimat sederhana yang nyatanya sangat tak sederhana itu terus mencari-cari jawaban dalam otakku, turun kehatiku, kedalam perasaan dan kemudian menyentuh alam bawah sadarku, mencekik aku dengan ingatan belasan tahun yang lalu.
Bapakku bukanlah seorang pejabat tinggi negera, bahkan bukan juga seorang politisi ternama. Bapak hanya seorang lurah desa, yang konon sudah amat tersohor saat indonesia masih dalam kepung dan geliat reformasi.
Siang itu sepulangku dari sekolah, kulihat beberapa teman bapak dengan pakaian dinasnya sedang ramai duduk dikursi teras. Aku tak berniat untuk mengetahui acara apa yang sedang digelar, maka aku hanya mengucap salam dan melempar senyum sopan kemudian masuk rumah.
Tapi langkahku terhenti paksa, saat aku melintasi kamar Ibu. Kudapati disana sosok wanita dengan muka merah dan tangis bercucuran sedang terduduk lemas disamping kaki Bapak yang terlihat sedang memasang muka gelisah.
”Bu?” aku merangsak masuk kedalam kamar dan meraih Ibuku yang terlihat berduka.
”Anakku... ” Ibu menyambut pelukku, dan mendekap erat tubuh mungilku yang konon masih berusia empat belas tahun.
Aku hanya diam dalam peluk dan tangis Ibu. Aku masih belum tau hal apa yang terjadi hingga suasana mendadak genting dan gelambir duka seolah melapisi hawa rumah ini.
Tak lama dalam kebingunganku yang tanpa jawab, kudengar suara gemuruh orang-orang dari luar rumah. Mereka berteriak, terdengar bagai penuh marah yang tak terbendung. Dan kemudian datang teman Bapak yang sedari tadi duduk diteras, dengan tergopoh-gopoh dan muka pucat ketakutan.
”Pak, ayo lewat pintu belakang saja. Lebih baik segera ke rumah Pak Sudibyo. Penduduk sudah ramai dan semua mencari Bapak.” Orang itu memberi saran yang tak kutahu apa maksudnya.
Bapak, aku, dan Ibuku yang sedang hamil tua-pun keluar dari rumah lewat pintu belakang, mengikuti instruksi pria paruh baya tadi, dengan mengendap-endap dan penuh hati-hati seperti tawanan yang akan melarikan diri.
Dan aku masih tak mengerti dengan apa yang terjadi sampai aku dan Ibu tiba dirumah nenek yang jauh dari rumah kami. Bapak entah kemana, pergi bersama teman-temannya. Dan ibu kini sedang beristirahat dikamar almarhumah kakek. Hanya ada aku dan nenek yang kini sedang memandangi dua cangkir teh yang mengepulkan asap panas.
”Nek..” aku mencoba mengalihkan perhatian nenek dari secangkir teh itu.
”Hm? Iya, Le?” Nenek menatapku dengan kedua matanya yang masih tajam.
”Ada apa sebenarnya Nek?”
Lama tak kudengar jawaban dari nenek, yang kudengar beberapa kali hanya hembusan nafas panjang dan tatapan penuh ketidak percayaan.
”Bapakmu dituduh tidak amanah, Bapakmu dituduh mengambil uang warga.” Nenek menitikkan airmata dengan penuh kecewa dan sungguh itu menyayat hatiku.
Nyatanya tanpa kusadari, aku ikut menyambut tangisan nenek. Sebulir air mata hangat keluar dari ujung mataku, lalu mengalir di pipiku. Nenek menundukkan kepala sambil menelungkupkan kedua telapak tangannya dimuka. Mencoba menyembunyikan sedih, kecewa, dan air mata yang menetes. Hingga aku tak bisa menemukan lagi jawaban dari nenek.
”Nek... kenapa?” aku menatap nanar.
Tak ada jawaban, Nenek masih terisak dibalik kedua telapak tangannya.
”Nek...?”
”Apanya yang kenapa, Le?”
”Kenapa Nenek menangis? Haruskah Nenek menangisi penghianat?”
Nenek semakin terisak, meraihku masuk dalam pelukannya. Kemudian berbisik pelan ditelingaku, ”Jangan pernah jadi Bapakmu, Le. Jangan pernah!”
Hari itu menjadi awal dari klimaks kehidupan kami. Baru sebuah awal dari klimaks, bukan sampai akhir. Karena masih ada klimkas-klimaks lain yang berjalan beriringan dengan waktu hidupku dan mendampingiku tumbuh menjadi anak durhaka.
Sesungguhnya aku tak bisa dikatakan ’durhaka’ dengan begitu saja. Karena aku membenci Bapak bukan tanpa alasan, semua itu beralasan. Bahkan alasan itu terlalu kuat, sampai-sampai jika aku tak membenci Bapak, maka aku akan menjadi durhaka yang sesungguhnya.
Semenjak hari itu, Bapak sudah tak nampak lagi dalam pandangan mata kami sehari-hari. Ibu harus hamil tua dalam keadaan pura-pura berkabung karena Bapak tidak mati tapi Bapak tiada karena dia dipenjara. Dan kami harus kehilangan rumah kami yang telah menjadi tempat peng-apresiasi-an amuk massa, dan memang sudah tak memungkinkan lagi bagi kami untuk kembali kedesa itu.
Sementara aku sendiri, harus pindah sekolah ketempat baru, harus kembali beradaptasi dengan kawan-kawan baru yang itu tak mudah bagiku. Aku tak pernah menyangka, jika Bapakku yang dulu kulihat sangat perfeksionis dimataku, kini berubah menjadi sosok menjijikkan yang amat kubenci. Bukan hanya kasus penyelewengan uang warga, tapi lebih parahnya Bapakku adalah seorang lelaki hidung belang yang telah banyak main wanita. Menjijikkan, itulah satu-satunya kata dariku untuk menggambarkan sosok Bapak.
Aku kehilangan teman-teman dan sahabatku didesa. Semua orang yang dulu menyayangiku kini berbalik memusuhiku. Tak ada satupun warga yang berempati dengan keadaan keluarga kami yang saat itu menderita, karena mereka mengganggap itulah buah kesalahan keluarga kita sendiri. Bahkan tak jarang mereka yang dulu baik, santun, ramah pada kami berubah menjadi garang dan penuh tatapan benci saat tak sengaja bertemu denganku dijalan.
Aku juga kehilangan masa kecilku. Masa kecil yang didambakan setiap anak adalah masa emas yang indah dan penuh kebahagiaan. Justru tidak bagiku yang harus rela melihat Ibuku sengaja menggugurkan kandungannya dan berkali-kali mencoba bunuh diri. Akhirnya Ibu-pun harus rela menjadi wanita yang tumbuh tua diatas ranjangnya dengan tatapan kosong dan tanpa tujuan.
Miris aku mengingat semua itu. Hanya karena seorang penghianat!
Tidak! Aku memutuskan tidak, bahkan kubulatkan menjadi tidak sama sekali. Aku memang darah Bapak, tapi tak ada darah korup yang mengalir dalam darahku. Aku memang bukan akan mencuri atau korupsi, aku hanya akan membantu, tapi tidak sama sekali untuk apapun itu alasannya jika hal itu bukan hal yang benar dan tak patut.
Sebesar apapun imbalannya, aku tetap pada kata tidak. Walau sempat terlintas diotakku dalam pertimbangan bimbang tadi, mungkin aku bisa naik jabatan jika aku membantu rekan kerjaku itu. Mungkin pula dengan imbalan uang itu, aku bisa menaikkan haji mertuaku yang sudah rewel, dan mungkin uang itu bisa kutabung untuk pendidikan anakku dimasa depan.
Ah tidak sama sekali. Aku pastikan aku tak butuh jabatan palsu yang kuperoleh dengan cara picik. Aku pastikan Tuhan tak butuh dengan haji mertuaku dari uang yang kuperoleh dengan cara kotor. Dan aku pastikan, anakku takkan berhasil jika dia sekolah dengan uang tak halal.
Kasihan anakku, dia anak laki-laki yang manis. Mana mungkin sebagai Ayah aku tega darah yang mengalir ditubuhnya nanti sampai kelak ia mati adalah darah kotor dan darah uang haram. Terlalu jahat aku menghianati anak dan istriku sendiri.
Dan terlebih, aku tak mau anakku menjadi aku yang dulu. Anak yang menatap jijik pada sosok Bapaknya yang telah menghancurkan hidup dan masa depannya. Anak yang kehilangan semuanya dalam sekejap mata, hanya karena kebiadaban Bapaknya. Sejarah hitam tak akan boleh terulang, aku adalah aku dan Bapakku bukanlah aku.
Kuraih handphoneku dari dalam saku jas.
”Halo” aku menghubungi seseorang yang mengaku dirinya sebagai sahabatku.
”Halooo... sahabat karibku yang terbaik didunia... bagaimana? Besok ba’da subuh aku kerumah kau ya? Kita ngobrol sebentar, lalu kita berangkat ke sidang bareng-bareng, sama-sama.”
”Sori Rud, besok ba’da subuh aku pengajian, dikasih ceramah sama ustadku, penting...”
”Ah apa-apaan kau ini, masih trend saja pengajian ustad artis! Emang pengajian apa segitu antusiasnya kau?”
”Pengajian rutin, pengajian tentang rejeki halal. Mana mungkin aku sepulang pengajian langsung cari rejeki tak halal Rud? Sudah ya, sori aku tak bisa bantu kau. Assalamu’alaikum...”
”Loh loh Ris. Halo halo? Wa wa walaikumsalam...” Samar kudengar suara Rudi mengucapkan salam diakhir percakapan kami.
Kuletakkan handphoneku, dan tak lama mendadak berderit. Kemudian kutemukan nama kontak istriku muncul dilayar itu.
”Ayah kok belum pulang? Adek sama Bunda nggak bisa tiduuur..” Begitu ucap istriku lewat sebuah pesan singkat yang dikirimkannya padaku.
Aku tersenyum simpul. Kemudian dengan hati sumringah penuh bahagia, kuraih tas kerjaku dan segera beranjak pulang. Sambil melangkah keluar kantor, kubalas pesan istriku.
”On the way honey, wait a minute :)”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?