Barangkali memang tepat bila ada
orang yang berkata “apa yang kita baca mempengaruhi diri kita”. Saat ini saya
tengah mengalami hal tersebut, yang praktis dalam tiga setengah bulan ini
berkutat dengan buku-buku karangan wartawan tiga zaman, Rosihan Anwar.
Sebelumnya, tidak pernah tersentuh
sama sekali oleh saya buku-buku karangan beliau, bahkan sebagai mahasiswa
jurusan ilmu komunikasi saya merasa berdosa tidak pernah mengenal nama beliau
sebelumnya. Mungkin masa kejayaan nya sebagai wartawan terlampau jauh
dari masa studi saya saat ini. Rosihan Anwar adalah pemimpin harian Pedoman
yang menjadi koran nomor wahid di Indonesia kala tahun 50-an. Bila boleh
mengutip pendapat Prof Alwi: Pedoman itu sebagaimana Kompas masa kini, yakni
koran tempat diskusi dan koran yang mampu membuat tema-tema yang diangkat
selalu jadi perbincangan seluruh rakyat Indonesia.
Tiga setengah bulan mencoba bermesra
dengan sosok Pak Ros (sapaan akrab beliau) demi mendapatkan inti sari pola
pemikirannya terkait Jurnalisme Indonesia yang berguna untuk Tugas Akhir
perkuliahaan saya di Universitas Brawijaya, menjadikan saya kemudian tau banyak
hal, mengamati dan peduli berbagai hal, yang sebelumnya sama sekali tak
terlintas dalam benak.
Judul skripsi ini pula yang kemudian
membawa saya melakukan perjalanan ke Jakarta pertama kali seorang diri
menggunakan kereta api selama 17 jam, untuk menemui kerabat sekaligus kolega
Pak Ros yakni nama yang sebelumnya sudah saya sebutkan diatas: M. Alwi Dahlan.
Beliau kemudian akrab di sapa dengan panggilan Prof Alwi sebab menjabat guru
besar FISIP Universitas Indonesia.
Perjalanan menemui mantan Mentri
Penerangan era Soeharto ini juga perlu perjuangan. Saya harus memulai dengan
pendekatan pada sekretaris jurusan UI terlebih dahulu yakni Dr. Eduard Lukman, agar
mendapat rekomendasi wawancara pada beliau. Dari pengalaman tersebut ada pelajaran
penting dalam hidup yang selama ini tak pernah saya temui secara langsung namun
hanya kerap kali saya dengar, yakni kalimat “padi semakin berisi semakin
merunduk”. Ini benar saya temukan pada sosok Prof Alwi Dahlan, sebab usai
menghubungi beliau via pesan singkat dengan harapan supaya tak menganggu
kegiatan, justru ada satu panggilan yang mendarat di handphone saya kala tengah bergulat dengan ratusan lembar koran
Pedoman di Perpusnas jalan Salemba. Ada suara yang tak cukup jelas dari sebrang
telfon memulai percakapan sebagai berikut: “Halo,
saudari Hamidah? Saya Alwi Dahlan. Saya persilahkan ke rumah saya jika hendak
wawancara terkait Pak Rosihan Anwar”
Seketika kemudian haru menguasai dada
dan mata, ini bukan sekedar perasaan bahagia sebab proses wawancara skripsi
saya terjamin lancar, namun sebab sikap seorang “Manusia Komunikasi” (buku Manusia Komunikasi adalah kumpulan
tulisan rekan Alwi Dahlan dalam rangka memperingati ulang tahun beliau ke-75
tahun) yang kemudian sangat rendah hati dan memberikan saya pelajaran maha
berharga.
Dari sosok Prof Alwi, kemudian saya
kembali lagi pada sosok Pak Rosihan. Muncul wajah beliau yang ‘terlalu’ sering
saya tatap di sampul buku “Menulis dalam Air: sebuah otobiografi”. Saya sangat
terharu. Betapa, Pak Ros andai saya sempat bertemu, barangkali saya hanya bisa
merunduk malu.... belum apa-apa yang saya lakukan terkait skripsi ini namun
keluhan demi keluhan tak henti terlontar pagi siang malam. Sepanjang tiga
setengah bulan ini saya baru sadar, munafik memang bicara tentang skripsi tanpa
peduli ijazah dan gelar, tapi dibalik kedua hal tersebut kemudian saya temukan soul dalam tugas akhir ini. Bukan, bukan
hanya tentang S.Ikom semata, tapi lebih dari pada itu, pengalaman, pelajaran,
cara pandangan, perjuangan, dan semua tentang Pak Ros dan koleganya yang kini
sudah dipanggil Tuhan terlebih dulu atau masih hidup dalam usia udzur, semuanya
menginspirasi saya... semua nya kemudian menjadi cambuk bagi saya, bahwa hidup
memang akan selalu berakhir, sehingga pertanyaan nya bukan kapan akan berakhir,
tapi apa yang bisa dilakukan sebelum berakhir?
Sebagai penutup tulisan yang tanpa
sengaja saya ketik dalam keadaan mata berkaca-kaca ini, saya hendak kutip
petuah dari Buya Hamka (rekan Pak Ros juga), sebagai berikut:
Kalau hidup sekedar
hidup, Babi di hutan juga Hidup.
Kalau bekerja sekedar
bekerja, Kera juga bekerja.
Sebab itulah mari kita sama-sama cari
makna dalam hidup ini. Semoga kita bukan golongan orang-orang yang hanya hidup
sekedar hidup. Amin. / 121215
iya neng terima atas curahan hatinya. maaf tidak bisa menemukan buku Rosihan Anwar. 2 tahun lagi sampai ketemu di Eropa
BalasHapus