Sekitar
enam belas tahun yang lalu, kala saya masih duduk dibangku kelas tiga sekolah
dasar, menjadi penulis adalah sebuah impian besar. Di usia yang sama, teman sekelas
saya umumnya bercita-cita menjadi dokter, tentara, polisi, atau guru. Tapi
entah kenapa menulis menjadi sebuah passion bagi saya, sebuah panggilan jiwa. Di
usia yang masih kanak itu, bacaan kegemaran saya adalah cerita pendek di rubrik
khusus milik Kompas Anak, yang terbit hanya tiap hari Minggu. Praktis,
akhir pekan menjadi saat-saat yang selalu saya nantikan, “Ada cerita apa lagi Minggu
ini?” begitu seterusnya pertanyaan dalam benak ini. Sampai pada suatu ketika
saya memberanikan diri mengirim cerita-cerita pendek ke redaksi Kompas Anak.
Tanpa ekspektasi apa pun, pure ala anak kecil. Saya dengan tekun
mengetikkan paragraf demi paragraf cerita itu di komputer berlayar tebal dengan
windows 98 nya. Ah... haru mengingatnya, itu komputer pertama di keluarga kami,
Abah yang beli. Beberapa kali tulisan saya ditolak, tapi sekali lagi, dengan
tanpa ekspektasi maka saya tidak kecewa atau sakit hati, saya kirim lagi. Toh, Kompas
dengan baik hati selalu mengirim balik naskah tulisan saya sembari membubuhkan
satu lembar surat dari redaksi dan menjelaskan alasan penolakan mereka. Alasan-alasan
itu menjadikan saya belajar banyak, “Oh... ternyata saya kurang nya di sini..”
begitu seterusnya.
Menginjak
masa SMP, kegemaran saya tidak berubah. Saya masih istiqomah menulis di
komputer windows 98 itu. Saya simpan file-file tulisan dengan rapi, masih tanpa
ekspektasi. Menulis adalah sebuah passion, dan bagi saya tulisan itu lahir
tanpa harus dibaca siapapun, tanpa perlu diakui bagaimanapun, dan tanpa perlu
dipuji apapun. Saya yang menulis, saya yang menikmati. Sehingga kerap kali saya
buka-buka sendiri file itu, mengamati ulang tulisan saya, mengoreksi kata demi
kata, kalimat demi kalimat yang kurang padu padannya. Kala SMP saya pun sudah
mulai upgrade diri, bukan hanya menulis cerita pendek tapi sudah mulai
menulis novel. Teenlit istilah gaulnya. Ceritanya tentu saja kebanyakan
kisah cinta remaja. Tapi saya juga kerap menulis puisi-puisi, hasil refleksi
diri terhadap sekeliling. Sungguh mengasyikkan. Sampai suatu ketika, SMP saya
akan menerbitkan majalah sekolah perdana, sehingga dibutuhkan pengurus majalah.
Saya pun menjadi salah satunya. Inilah pertama kali tulisan saya dimuat dan
dibaca banyak orang (barangkali). Saat majalah sekolah itu terbit, saya
pandangi saja tulisan yang saya buat tercetak di atas lembarannya. Beberapa
rekan yang membaca majalah itu kemudian segera menggodai saya karena nama “Hamidah”
terpampang dengan jelas di sana. Saya bangga. Saya merasakan pertama kali dalam
hidup, ini yang namanya pengakuan dan apresiasi. Tapi kemudian saya tahu, itu
juga menjadi saat pertama dalam hidup saya untuk tidak pure lagi, saya
sudah memiliki ekspektasi dalam menulis. Sesuatu yang bisa menjadi baik, bisa
pula menjadi racun.
Memasuki
bangku SMA, saya tetap merawat hobi menulis. Untuk pertama kalinya di tahun
2010, saya menerbitkan secara digital tulisan-tulisan saya di sebuah blog,
bernama sebatangmimpi.blogspot.com. Blog ini yang kemudian menjadikan saya tidak
lagi introvert menyimpan file-file tulisan di dalam komputer. Ini juga seiring
saya sudah mempunyai laptop sendiri, kegiatan menulis pun bisa semakin
fleksibel dilakukan di mana saja, sesaat setelah ide melintas di benak.
Teman-teman SMA saya juga mengetahui kegemaran ini, beberapa dari mereka bahkan
dengan senang hati mengunjungi blog saya, membaca tulisan-tulisannya, dan
meninggalkan komentar. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya, jika mereka
menikmati hasil karya sederhana itu. Meski beberapa memuji, namun tak sedikit
yang usil lalu menggodai saya dengan memanggil-manggil, “Hei, sebatang mimpi!”
atau, “Hei, Hamidah Semi!”. Semi merujuk pada singkatan dari nama blog sebatang
mimpi itu. Saya tidak malu, gengsi, atau sangsi, bagi saya apresiasi dapat dilontarkan
dalam beragam bentuk. Saya senang teman-teman mengenal saya sebagai “si gadis
gemar menulis”. Beberapa teman juga menunjukkan dukungannya dengan mendorong
saya untuk menerbitkan tulisan-tulisan di blog menjadi sebuah buku. Saya senang
atas dorongan itu, tapi belum saya wujudkan.
Memasuki
masa-masa kuliah, saya kehabisan waktu untuk menulis. Saya sibuk mengerjakan
tugas, berorganisasi, hingga bekerja paruh waktu di media lokal Kota Malang.
Menyesal? Hm... tidak juga. Karena meski hobi saya menulis terbengkalai, dan
saya hampir-hampir saja kehilangan gairah dalam menulis, tapi saya tahu dan dapat
memastikan, kala itu saya tengah sibuk untuk hal-hal yang tidak kalah baik
untuk diri dan masa depan.
Sebatang
mimpi masih baik-baik saja hingga akhir tahun 2016-an, kadang terisi tulisan, kadang
tidak, seluangnya waktu saja. Hingga saya terkesiap, apabila nama adalah doa, akankah
sebatang mimpi hanya akan selamanya menjadi sebatang mimpi, tanpa pernah tumbuh
menjadi pohon lalu berubah menjadi taman, berkembang menjadi hutan rindang,
bahkan sampai menjadi paru-paru dunia? Padahal harapan saya sebatang mimpi
bukan hanya menjadi sebongkah kayu saja, saya berharap dia bertumbuh kembang,
memiliki rekan dan kawanan, menebar kebaikan, lewat tulisan.
Lalu
sekira tahun 2017-an saya mengubah sebatang mimpi menjadi perspektif hamidah,
tempat saya menuangkan berbagai pemikiran, apa pun. Agar sudut pandang itu ikut
mengisi dan mewarnai riuh rendah pemikiran di tengah belantara media sosial
yang kian ramai pengguna. Seiring berganti nama menjadi
perspektifhamidah.blogspot.com, saya pun sedikit banyak mulai menulis pemikiran
saya terkait sosial, politik, dan budaya, tidak hanya cerita fiktif.
Kini
perspektif hamidah mendapat dukungan dari suami saya, ia membantu saya
mengubahnya menjadi sebuah website. Meski berbayar, ia yakin itu akan baik
untuk saya mengembangkan hobi ini menjadi sesuatu yang berguna bagi orang
banyak. Menulis bagi saya saat ini bukan hanya sebuah hobi dan passion saja,
karena saya sadar harus membubuhkan sedikit ekspektasi di dalamnya, tentu dalam
takaran yang wajar dan seperlunya. Sebab, mendiamkan tulisan dalam komputer
pribadi saya tidak akan bermanfaat apa-apa selain menjadi penghibur diri
sendiri kala waktu senggang. Tapi membagikannya pada dunia luas, barangkali dapat
menghadirkan manfaat pula bagi orang lain yang membacanya, sedikit atau banyak.
Saya
teringat suatu ketika Ignasius Jonan pernah berkata “Misalnya Tuhan memberi
kita usia 75 tahun maka: Pada 25 tahun pertama hidup kita lebih banyak
menerima. Dan 25 tahun berikutnya, hidup haruslah seimbang menerima dan
memberi. Pada 25 tahun ketiga, harus lebih banyak memberi daripada menerima”.
Maka bagi saya yang akan segera memasuki tahap 25 tahun kedua hidup ini, saya
berupaya dan (masih) berlatih untuk memberi (meski sedikit), setelah 25 tahun
pertama telah saya lewati dengan lebih banyak menerima.
Semoga
dapat bermanfaat untuk khalayak luas. Terima kasih.