14 November 2019

MOVE

Sekitar enam belas tahun yang lalu, kala saya masih duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar, menjadi penulis adalah sebuah impian besar. Di usia yang sama, teman sekelas saya umumnya bercita-cita menjadi dokter, tentara, polisi, atau guru. Tapi entah kenapa menulis menjadi sebuah passion bagi saya, sebuah panggilan jiwa. Di usia yang masih kanak itu, bacaan kegemaran saya adalah cerita pendek di rubrik khusus milik Kompas Anak, yang terbit hanya tiap hari Minggu. Praktis, akhir pekan menjadi saat-saat yang selalu saya nantikan, “Ada cerita apa lagi Minggu ini?” begitu seterusnya pertanyaan dalam benak ini. Sampai pada suatu ketika saya memberanikan diri mengirim cerita-cerita pendek ke redaksi Kompas Anak. Tanpa ekspektasi apa pun, pure ala anak kecil. Saya dengan tekun mengetikkan paragraf demi paragraf cerita itu di komputer berlayar tebal dengan windows 98 nya. Ah... haru mengingatnya, itu komputer pertama di keluarga kami, Abah yang beli. Beberapa kali tulisan saya ditolak, tapi sekali lagi, dengan tanpa ekspektasi maka saya tidak kecewa atau sakit hati, saya kirim lagi. Toh, Kompas dengan baik hati selalu mengirim balik naskah tulisan saya sembari membubuhkan satu lembar surat dari redaksi dan menjelaskan alasan penolakan mereka. Alasan-alasan itu menjadikan saya belajar banyak, “Oh... ternyata saya kurang nya di sini..” begitu seterusnya.

Menginjak masa SMP, kegemaran saya tidak berubah. Saya masih istiqomah menulis di komputer windows 98 itu. Saya simpan file-file tulisan dengan rapi, masih tanpa ekspektasi. Menulis adalah sebuah passion, dan bagi saya tulisan itu lahir tanpa harus dibaca siapapun, tanpa perlu diakui bagaimanapun, dan tanpa perlu dipuji apapun. Saya yang menulis, saya yang menikmati. Sehingga kerap kali saya buka-buka sendiri file itu, mengamati ulang tulisan saya, mengoreksi kata demi kata, kalimat demi kalimat yang kurang padu padannya. Kala SMP saya pun sudah mulai upgrade diri, bukan hanya menulis cerita pendek tapi sudah mulai menulis novel. Teenlit istilah gaulnya. Ceritanya tentu saja kebanyakan kisah cinta remaja. Tapi saya juga kerap menulis puisi-puisi, hasil refleksi diri terhadap sekeliling. Sungguh mengasyikkan. Sampai suatu ketika, SMP saya akan menerbitkan majalah sekolah perdana, sehingga dibutuhkan pengurus majalah. Saya pun menjadi salah satunya. Inilah pertama kali tulisan saya dimuat dan dibaca banyak orang (barangkali). Saat majalah sekolah itu terbit, saya pandangi saja tulisan yang saya buat tercetak di atas lembarannya. Beberapa rekan yang membaca majalah itu kemudian segera menggodai saya karena nama “Hamidah” terpampang dengan jelas di sana. Saya bangga. Saya merasakan pertama kali dalam hidup, ini yang namanya pengakuan dan apresiasi. Tapi kemudian saya tahu, itu juga menjadi saat pertama dalam hidup saya untuk tidak pure lagi, saya sudah memiliki ekspektasi dalam menulis. Sesuatu yang bisa menjadi baik, bisa pula menjadi racun.

Memasuki bangku SMA, saya tetap merawat hobi menulis. Untuk pertama kalinya di tahun 2010, saya menerbitkan secara digital tulisan-tulisan saya di sebuah blog, bernama sebatangmimpi.blogspot.com. Blog ini yang kemudian menjadikan saya tidak lagi introvert menyimpan file-file tulisan di dalam komputer. Ini juga seiring saya sudah mempunyai laptop sendiri, kegiatan menulis pun bisa semakin fleksibel dilakukan di mana saja, sesaat setelah ide melintas di benak. Teman-teman SMA saya juga mengetahui kegemaran ini, beberapa dari mereka bahkan dengan senang hati mengunjungi blog saya, membaca tulisan-tulisannya, dan meninggalkan komentar. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya, jika mereka menikmati hasil karya sederhana itu. Meski beberapa memuji, namun tak sedikit yang usil lalu menggodai saya dengan memanggil-manggil, “Hei, sebatang mimpi!” atau, “Hei, Hamidah Semi!”. Semi merujuk pada singkatan dari nama blog sebatang mimpi itu. Saya tidak malu, gengsi, atau sangsi, bagi saya apresiasi dapat dilontarkan dalam beragam bentuk. Saya senang teman-teman mengenal saya sebagai “si gadis gemar menulis”. Beberapa teman juga menunjukkan dukungannya dengan mendorong saya untuk menerbitkan tulisan-tulisan di blog menjadi sebuah buku. Saya senang atas dorongan itu, tapi belum saya wujudkan.

Memasuki masa-masa kuliah, saya kehabisan waktu untuk menulis. Saya sibuk mengerjakan tugas, berorganisasi, hingga bekerja paruh waktu di media lokal Kota Malang. Menyesal? Hm... tidak juga. Karena meski hobi saya menulis terbengkalai, dan saya hampir-hampir saja kehilangan gairah dalam menulis, tapi saya tahu dan dapat memastikan, kala itu saya tengah sibuk untuk hal-hal yang tidak kalah baik untuk diri dan masa depan.
Sebatang mimpi masih baik-baik saja hingga akhir tahun 2016-an, kadang terisi tulisan, kadang tidak, seluangnya waktu saja. Hingga saya terkesiap, apabila nama adalah doa, akankah sebatang mimpi hanya akan selamanya menjadi sebatang mimpi, tanpa pernah tumbuh menjadi pohon lalu berubah menjadi taman, berkembang menjadi hutan rindang, bahkan sampai menjadi paru-paru dunia? Padahal harapan saya sebatang mimpi bukan hanya menjadi sebongkah kayu saja, saya berharap dia bertumbuh kembang, memiliki rekan dan kawanan, menebar kebaikan, lewat tulisan.
Lalu sekira tahun 2017-an saya mengubah sebatang mimpi menjadi perspektif hamidah, tempat saya menuangkan berbagai pemikiran, apa pun. Agar sudut pandang itu ikut mengisi dan mewarnai riuh rendah pemikiran di tengah belantara media sosial yang kian ramai pengguna. Seiring berganti nama menjadi perspektifhamidah.blogspot.com, saya pun sedikit banyak mulai menulis pemikiran saya terkait sosial, politik, dan budaya, tidak hanya cerita fiktif.

Kini perspektif hamidah mendapat dukungan dari suami saya, ia membantu saya mengubahnya menjadi sebuah website. Meski berbayar, ia yakin itu akan baik untuk saya mengembangkan hobi ini menjadi sesuatu yang berguna bagi orang banyak. Menulis bagi saya saat ini bukan hanya sebuah hobi dan passion saja, karena saya sadar harus membubuhkan sedikit ekspektasi di dalamnya, tentu dalam takaran yang wajar dan seperlunya. Sebab, mendiamkan tulisan dalam komputer pribadi saya tidak akan bermanfaat apa-apa selain menjadi penghibur diri sendiri kala waktu senggang. Tapi membagikannya pada dunia luas, barangkali dapat menghadirkan manfaat pula bagi orang lain yang membacanya, sedikit atau banyak.

Saya teringat suatu ketika Ignasius Jonan pernah berkata “Misalnya Tuhan memberi kita usia 75 tahun maka: Pada 25 tahun pertama hidup kita lebih banyak menerima. Dan 25 tahun berikutnya, hidup haruslah seimbang menerima dan memberi. Pada 25 tahun ketiga, harus lebih banyak memberi daripada menerima”. Maka bagi saya yang akan segera memasuki tahap 25 tahun kedua hidup ini, saya berupaya dan (masih) berlatih untuk memberi (meski sedikit), setelah 25 tahun pertama telah saya lewati dengan lebih banyak menerima.

Semoga dapat bermanfaat untuk khalayak luas. Terima kasih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?