Entah kala itu tanggal berapa pertama kali kuinjakkan kaki
ditanah basah desa kucur. Desa asri nan sejuk yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Basi mungkin menggambarkan setting desa subur seperti ini, namun takkan basi
jika kau berkunjung sendiri. Sungguh, teramat benar, jika ada yang bilang
“Indonesia adalah potongan surga yang jatuh ke Bumi” dan bahkan dengan melihat
nuansa alami ini seolah-olah saja dulu surga pernah bocor dan menumpahkan keindahan nya di tanah desa kucur.
Mobil biru itu berhenti dihalaman mungil masjid yang belum
jadi. Aku mengernyitkan kening dan menyipitkan mata menyaksikan sekeliling.
Terlalu sederhana. Bukan aku butuh mewah, tapi ini terlalu sederhana jika
dibandingkan mushola-mushola mungil yang bertebaran di kota yang selama ini aku
dan teman-teman tinggali. Kontras sekali. Bahkan mushola desa ini belum pula
jadi. Temboknya masih berwarna abu-abu semen, hingga nyaris lumutan, entah..
mungkin karena terlalu lama tak segera disentuh cat.
Namun seketika lamunanku buyar,
saat guru ku meminta aku dan beberapa orang teman yang ikut tinjau lokasi, untuk bergegas menjajari langkah beliau memasuki masjid. Disana sudah
ada beberapa pria dewasa yang disebut ustad dan beberapa wanita dewasa pula
yang disebut ustadzah. Kami berjalan perlahan-lahan, sedikit kikuk, kami
dihujani tatapan oleh ustadz, ustdzah dan santri-santri kecil berwarna-warni
bagai pelangi.
Berbagai corak, bajunya maksudku. Tapi kala itu aku merasa
mereka semua kembar, muka mereka semua nyaris sama tak ada beda. Aku masih
ingat betul itu, mereka melongo melihat muka-muka kami, dengan polos minim
ekspresi, dan jika aku boleh menerka, maka kalimat inilah yang mungkin sedang
berkeliling tawaf di benak mereka, “Siapa gerangan muda mudi datang dari dalam
mobil biru itu? Asing sekali mereka, dengan tatapan nya yang mencoba
bersahabat. Hendakkah mereka ikut mengaji bersama kami? Ah… mana mungkin,
mereka sudah terlalu besar. Atau… mungkin benar, siapa tahu mereka belum bisa
mengaji?”
Dan jika itu pertanyaanya, maka kami akan menjawab, “Mungkin
kami sudah bisa mengaji, namun kami belum bisa membaca. Kami sungguh belum bisa
membaca hati-hati suci kalian, adik-adik. Kami belum bisa membaca tatapan
kalian, kami sungguh buta akan bahasa tubuh kalian. Dan kini kami sedang
mencoba, kami memulai nya dari sini, perjalanan dakwah dan perjuangan untuk
mencerdaskan.”
Selamat datang di
desa Kucur, untuk memulai langkah tegap perjuangan. Perjuangan ini bukan
tentang seberapa pintar kalian, bukan seberapa hebat jurusan di perkuliahan,
bukan seberapa banyak prestasi yang diraih, tapi setangguh apa kalian mampu menghadapi
kemalasan, ketidakpedulian, dan seleksi alam.
Innalallaha ma’ana.
-Hamidah Izzatu Laily for @CMCmalang
Keren peeeeeeek
BalasHapus