5 Februari 2014

Rumah Tanpa Ibu

Rumah itu dingin
Rumah itu melompong
Bukan melompong dari benda, tapi melompong akan hangat
Sinar matahari yang menembus kaca, merobek tirai-tirai luush, kemudian menyeka sekujur sudut ruangan.
Debu-debu yang nampak seperti berlian lalu berkilau-kilau diterpa cahaya vertikal.
Rumah itu bukan rumah duka
Tapi rumah itu dingin.
Matahari tak bisa menggantikan hangat didalamnya yang jika dikenang teramat mengharukan.
Rumah itu kemudian menjadi hambar.
Tak ada suara sibuk didapur menggoreng camilan
Tak ada suara air kran mencuci wadah-wadah makanan
Tak ada bisik lirih membangunkan mata-mata kantuk yang malas.
Tak ada gesek sapu pada lantai, dan bahkan tak ada gertak sayang pada gadis-gadis mungil yang enggan berjamaah ke surau.
Rumah itu piatu,
Penghuni nya pun begitu.
Tanpa ibu.
Rengek merea seolah tak laku, takkan mampu mengembalikan sesuatu apapun itu.
Hanya ada lutut kurus yang terlipat dan didekap dengan erat.
Hanya ada bibir tipis yang memucat karena digigit kuat-kuat.
Semua takkan kembali, selamanya takkan lagi.
Sudah terlanjur semuanya terjadi.

puisi ini kubuat beberapa bulan yang lalu dan sempat mendekam lama di memo handphone ku. "Rumah Tanpa Ibu" ini terinspirasi dari kisah hidup saudara keponakan ku yang masih kecil-kecil dan harus piatu karena ibunya meninggal dunia. Kepergian ibunya yang mendadak tanpa ada tanda-tanda seperti sakit yang cukup lama, membuat mereka tentu terpukul hebat. 
Kini, kabar terbaru yang kudapat, mereka Alhamdulillah baik-baik saja. sudah bisa mandiri, memasak dan mencuci, sesekali masih dibantu Bapaknya yang usianya sudah mulai "sepuh". 
"Rumah Tanpa Ibu", itu bagaikan pagi tanpa matahari;(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?