2 Mei 2017

Mitos Merapi ‘Nyai Gadung Melati’



Masih di lokasi yang sama yakni Museum Gunung Merapi, aku menemukan gambar ini, lengkap dengan keterangan sebagaimana berikut:


“Mitos Merapi ‘Nyai Gadung Melati’.
Diantara sekian banyak tokoh makhluk halus yang dipercaya menempati Kraton Gunung Merapi ada satu tokoh yang paling terkenal dan dicintai oleh penduduk daerahnya, bernama ‘Nyai Gadung Melati’ yang tinggal di Gunung Wutoh. Dia berperan sebagai pemimpin pasukan makhluk halus Merapi dan pelindung lingkungan daerahnya, termasuk memelihara kehijauan tanaman dan kehidupan hewan. ‘Nyai Gadung Melati’ juga sering muncul di mimpi-mimpi penduduk sekitar kaki Gunung Merapi sebagai pertanda Merapi akan meletus, dalam mimpi penduduk ‘Nyai Gadung Melati’ disebutkan berparas cantik dan berpakaian warna hijau daun melati.”

Cerita diatas seketika mengingatkan ku akan sebuah pertanyaan dosen kami dikelas, “Kenapa hantu atau makhluk halus di Indonesia cenderung digambarkan dalam sosok perempuan? Padahal di luar negeri ada makhluk-makhluk seperti vampir, dracula, dll yang berjenis kelamin laki-laki. Apakah kalian tau alasannya? Itu bisa dijadikan penelitian lho”, begitu kira-kira kata beliau.
Pertanyaan yang sama pun coba aku lontarkan pada temanku kala itu, terkait dengan ‘Nyai Gadung Melati’ mengapa harus berjenis kelamin perempuan. Analisisnya cukup menarik, menurut dia mengapa sosok ‘Nyai Gadung Melati’ itu perempuan, karena perempuan diidentikkan dengan kesuburan. Kala itu, tentu mata pencahariaan penduduknya sebagian besar adalah bercocok tanam atau petani, sehingga mereka menganggap bahwa kesuburan adalah yang suatu hal penting dan utama dalam hidupnya.
Manusia sebagaimana kita ketahui, awalnya hidup nomaden atau berpindah-pindah dari satu goa menuju goa lainnya dan mendapatkan makan dengan cara berburu. Namun kemudian paradaban berkembang, sehingga yang awalnya nomaden menjadi sedenter yakni hidup menetap. Di masa inilah, mereka tidak lagi berburu tapi mengolah suatu bidang tanah untuk kebutuhan pangannya dan kelangsungan hidupnya. Pada masa ini manusia berfokus pada kesuburan dan hal itu menjadi sangat penting, mereka pun menganggap perempuan identik dengan kesuburan karena perempuan mengandung dan melahirkan anak. Disaat itu pula, pengetahuan manusia yang masih sangat terbatas mengira bahwa perempuan lah satu-satunya pihak yang berperan atas kelahiran anggota baru dalam sebuah keluarga tanpa mengetahui bahwa laki-laki juga berperan. Posisi perempuan kala itu dipandang lebih atas daripada laki-laki.
Peradaban kembali berkembang, manusia yang awalnya membutuhkan sepetak tanah saja untuk ditanami dan cukup untuk makan sekeluarga, merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya, sehingga tanah yang dimiliki tak cukup hanya sepetak dua petak. Mereka ingin memperluas kepemilikan lahan, satu-satunya cara untuk memperluas dan menguasai lahan-lahan lain yang sudah dimiliki orang adalah dengan menaklukkan pihak lain tersebut melalui jalan peperangan. Peperangan tentu saja lebih banyak didominasi oleh kaum adam. Dari peperangan inilah, masyarakat mulai melihat bahwa posisi laki-laki lebih diatas daripada perempuan. Selain itu, pengetahuan mulai berkembang dan mereka mulai mengetahui bahwa laki-laki juga turut berperan dalam proses terbentuknya janin di dalam rahim, hingga lahir menjadi seorang bayi.
Kini, di zaman modern, peperang sudah mulai ditinggalkan karena penguasaan lahan tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan dan peperangan. Selain itu, era masyarakat pertanian sudah mulai bergeser menuju era masyarakat industri lah. Dalam masyarakat industri, bukan hanya laki-laki saja yang bekerja dan berperan namun perempuan juga ikut bekerja, sehingga kini kerap kita dengar upaya penyetaraan gender sehingga perempuan dapat diakui dan berada pada posisi yang sama dengan laki-laki. Tidak ada yang lebih unggul antara keduanya.


Referensi: Buku Riwayat Peradaban, karya Larry Gonick. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?