Masih di lokasi yang sama yakni Museum Gunung Merapi, aku
menemukan gambar ini, lengkap dengan keterangan sebagaimana berikut:
“Mitos Merapi ‘Nyai
Gadung Melati’.
Diantara sekian banyak
tokoh makhluk halus yang dipercaya menempati Kraton Gunung Merapi ada satu
tokoh yang paling terkenal dan dicintai oleh penduduk daerahnya, bernama ‘Nyai
Gadung Melati’ yang tinggal di Gunung Wutoh. Dia berperan sebagai pemimpin pasukan
makhluk halus Merapi dan pelindung lingkungan daerahnya, termasuk memelihara
kehijauan tanaman dan kehidupan hewan. ‘Nyai Gadung Melati’ juga sering muncul
di mimpi-mimpi penduduk sekitar kaki Gunung Merapi sebagai pertanda Merapi akan
meletus, dalam mimpi penduduk ‘Nyai Gadung Melati’ disebutkan berparas cantik
dan berpakaian warna hijau daun melati.”
Cerita diatas seketika mengingatkan ku akan sebuah
pertanyaan dosen kami dikelas, “Kenapa hantu atau makhluk halus di Indonesia
cenderung digambarkan dalam sosok perempuan? Padahal di luar negeri ada
makhluk-makhluk seperti vampir, dracula, dll yang berjenis kelamin laki-laki.
Apakah kalian tau alasannya? Itu bisa dijadikan penelitian lho”, begitu
kira-kira kata beliau.
Pertanyaan yang sama pun coba aku lontarkan pada temanku
kala itu, terkait dengan ‘Nyai Gadung Melati’ mengapa harus berjenis kelamin
perempuan. Analisisnya cukup menarik, menurut dia mengapa sosok ‘Nyai Gadung
Melati’ itu perempuan, karena perempuan diidentikkan dengan kesuburan. Kala itu,
tentu mata pencahariaan penduduknya sebagian besar adalah bercocok tanam atau
petani, sehingga mereka menganggap bahwa kesuburan adalah yang suatu hal
penting dan utama dalam hidupnya.
Manusia sebagaimana kita ketahui, awalnya hidup nomaden atau
berpindah-pindah dari satu goa menuju goa lainnya dan mendapatkan makan dengan
cara berburu. Namun kemudian paradaban berkembang, sehingga yang awalnya
nomaden menjadi sedenter yakni hidup menetap. Di masa inilah, mereka tidak lagi
berburu tapi mengolah suatu bidang tanah untuk kebutuhan pangannya dan
kelangsungan hidupnya. Pada masa ini manusia berfokus pada kesuburan dan hal
itu menjadi sangat penting, mereka pun menganggap perempuan identik dengan
kesuburan karena perempuan mengandung dan melahirkan anak. Disaat itu pula,
pengetahuan manusia yang masih sangat terbatas mengira bahwa perempuan lah
satu-satunya pihak yang berperan atas kelahiran anggota baru dalam sebuah
keluarga tanpa mengetahui bahwa laki-laki juga berperan. Posisi perempuan kala
itu dipandang lebih atas daripada laki-laki.
Peradaban kembali berkembang, manusia yang awalnya
membutuhkan sepetak tanah saja untuk ditanami dan cukup untuk makan sekeluarga,
merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya, sehingga tanah yang
dimiliki tak cukup hanya sepetak dua petak. Mereka ingin memperluas kepemilikan
lahan, satu-satunya cara untuk memperluas dan menguasai lahan-lahan lain yang
sudah dimiliki orang adalah dengan menaklukkan pihak lain tersebut melalui
jalan peperangan. Peperangan tentu saja lebih banyak didominasi oleh kaum adam.
Dari peperangan inilah, masyarakat mulai melihat bahwa posisi laki-laki lebih
diatas daripada perempuan. Selain itu, pengetahuan mulai berkembang dan mereka
mulai mengetahui bahwa laki-laki juga turut berperan dalam proses terbentuknya
janin di dalam rahim, hingga lahir menjadi seorang bayi.
Kini, di zaman modern, peperang sudah mulai ditinggalkan karena
penguasaan lahan tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan dan peperangan.
Selain itu, era masyarakat pertanian sudah mulai bergeser menuju era masyarakat
industri lah. Dalam masyarakat industri, bukan hanya laki-laki saja yang
bekerja dan berperan namun perempuan juga ikut bekerja, sehingga kini kerap
kita dengar upaya penyetaraan gender sehingga perempuan dapat diakui dan berada
pada posisi yang sama dengan laki-laki. Tidak ada yang lebih unggul antara
keduanya.
Referensi: Buku Riwayat Peradaban, karya Larry Gonick.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?