Mitologi Merapi |
Menghabiskan long weekend di Kota Budaya Jogja tentu saja bagiku tak pernah membosankan. Beruntung sekali aku berkesempatan domisili di Provinsi ini. Setelah beberapa saat lalu memilih untuk jalan-jalan ke Puncak Suroloyo sebagaimana sempat kuceritakan melalui caption di Instagramku adalah tempat bertapa Pangeran Diponegoro, dan hingga kini masih menjadi tempat dilakukannya upacara adat tiap malam 1 Suro. Berbeda dengan minggu ini, aku dan temanku memilih untuk berjalan-jalan ke Museum Gunung Merapi.
Terdengar membosankan ya? “Anak
muda jalan-jalan kok ke museum? Mau jadi ahli sejarah po?” begitu barangkali
pertanyaan yang dilontarkan sebagian orang jika dituliskan dalam logat khas jogja.
Tapi bagi kami, sejarah itu hal
yang tak hanya melulu perlu dijamah oleh orang tua saja, sejarah adalah
bagimana kita mengetahui dan belajar dari masa lalu untuk kemudian menjadi
lebih baik dimasa kini dan masa depan. Bahkan karena ketertarikan dengan
hal-hal berbau sejarah yang cukup besar, kami memiliki cita-cita yang terdengar
sedikit utopis tapi sungguh ingin kami wujudkan yakni menjadi penyokong utama
dalam hal dana untuk pembangunan museum indonesia berkelas internasional. Hehehhe.
Tak salah kan bermimpi besar?
Jalur yang tempuh mudah saja,
yakni mengikuti sepanjang Jalan Kaliurang, lalu belok ke kiri. Kami sebagai
perantau mudah menemukan lokasi ini tentu saja karena berbekal petunjuk Google Maps. Kami hanya perlu membayar
tiket sebesar 5000 rupiah saja, untuk dapat menyelam dalam lautan sejarah
meletusnya gunung merapi dan juga gunung-gunung yang lain. Nah... ini sisi
menariknya, meskipun bernama Museum Gunung Merapi, tapi museum ini juga
memberikan informasi terkait gunung-gunung di Indonesia bahkan di seluruh
dunia. Terbaik memang.
Pada bagian pintu masuk, kami
akan disuguhi dengan replika Gunung Berapi yang nampak sungguh megah. Replika
ini dilengkapi dengan 4 tombol, 1 tombol berwarna merah dan tiga lainnya
berwarna hijau. Satu tombol merah diberi keterangan “Narasi”, tentu saja sesuai
dengan fungsinya, yakni ketika kita tekan tombolnya maka akan terdengar narasi
penjelasan meletusnya gunung merapi. Sedangkan, tiga tombol hijau lainnya bertuliskan
masing-masing tahun meletusnya Gunung Merapi, yang jika kita tekan maka replika
akan bergetar dan mengeluarkan suara menggelegar lengkap dengan keluarnya asap
dari bagian puncak replika Gunung Merapi.
Ada hal yang menarik kami jumpai,
yakni lukisan dari Aloysius Heri, ia memberikan keterangan atas dirinya dalam
lukisan tersebut sebagai seorang Petani dan Pelukis.
Lukisan itu cukup besar,
berbentuk persegi panjang. Pada bagian kiri lukisan nampak gunung merapi
lengkap dengan laharnya yang memerah dan seolah membakar manusia-manusia. Sedangkan
di sisi kiri, ada lautan dan ombak yang membuncah dan memporak porandakan
sekitarnya. Yang menarik, dibagian tengahnya ada gambar Keraton Yogyakarta yang
terlindungi oleh sebuah lingkaran transparan. Awalnya kami hanya menerka-nerka,
namun terkaan kami segera dijawab oleh keterangan tulisan yang terletak
dibagian bawah lukisan tersebut.
“Banyak mitos yang berkembang di masyarakat terutama yang tinggal di
sekitar lereng merapi. Yang paling menonjol adalah keberadaan Eyang Sapu Jagad,
sosok gaib penunggu Gunung Merapi. Berbicara tentang Eyang Sapu Jagad tidak
dapat dilepaskan dari Kanjeng Ratu Kidul, sosok gaib penunggu Laut Selatan.
Berawal dari Sutawijaya (kemudian bergelar Panembahan Senopati) anak
dari Ki Ageng Pemanahan, bertapa di panta laut selatan. Dalam laku tapa
tersebut Sutawijaya bertemu, berkenalan, saling jatuh cinta dan menikah dengan
Kanjeng Ratu Kidul. Sutawijaya mengutarakan niatnya untuk membangun kerajaan
baru. Singkat cerita, Kanjeng Ratu Kidul berkenan membantu dengan sepenuh hati.
Sebagai tanda kesungguhan dan cintanya, Kanjeng Ratu Kidul menghadiahi “Ndhog
Jagad” yang kemudian dititipkan kepada Kyai Sapu Jagad.
Apa yang ingin disampaikan dari mitologi diatas adalah bahwa Sapu Jagad
berarti menyapu jagad, sapunya jagad dunia. Jagad yang dimaksud adlah diri
pribadi manusia, jagad cilik dunia kecil (mikrokosmos) dengan demikian sapu
jagad adalah konsep spiritualistis dalam kesadaran membersihkan diri pribadi,
hati dan pikiran. Sedang Kanjeng Ratu Kidul berasal dari kata “rat” yang
berarti maha luas, tak terbatas. Ide, pemikiran pemikiran manusia sering kali
tak terbatas, untuk itu dalam mewujudkan itu dalam keterbatasan diperlukan
batasan-batasan berupa simbol untuk mewujudkan, membumikan ide, gagasan
manusia. Endhog Jagad, endhog berarti telur sifatnya embriotik, bakal. Apa yang
dilakukan Suta Wijaya adalah mentranplantasi sebuah gagasan abstrak kedalam
realita melalui pergulatan batin, bersih diri, dan akhirnya mendapatkan
pencerahan, maka dia berdiri di barisan paling depan untuk mewujudkan berdirinya
kerajaan baru Mataram. Eksistensi Mataram saat itu boleh jadi karena tuntutan
kebutuhan, kebutuhan akan perlunya “peradaban baru”.
Mitologo Merapi Laut Selatan sudah saatnya kita sikapi dengan cara
pandang modern, kita perlu menenggelamkan dan memperabukan pemikiran dan cara
pandang lama, mengganti dengan yang baru. Dengan niat sungguh-sungguh, hati
bersih, sepi ing pamrih rame ing gawe, kita akan mampu memamfaatkan potensi
sumber daya alam yang ada di Gunung Merapi maupun Laut Selatan untuk
kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian layaklah kita disebut sebagai
manusia beradab yang hidup di dalam peradaban baru.
Aloysius Heri – petani, pelukis”
Demikian paragraf demi paragraf
yang coba ditulis untuk menggambarkan sejarah Gunung Merapi dan kaitannya
dengan Keraton juga Pantai Selatan. Menarik sekali membacanya, namun tulisan
tersebut justru menimbulkan sederet pertanyaan yang berjajar panjang dibalik
kepala ini. Apa fungsi Ndhog Jagad?
Kenapa Kanjeng Ratu Kidul menghadiahkan hal tersebut sebagai bukti
kesungguhannya? Kenapa pula Ndhog Jagad harus
dititipkan pada Kyai Sapu Jagad? Kenapa pada bagian awal, penulis menyebutkan
Eyang Sapu Jagad dan pada paragraf selanjutnya menyebut dengan Kyai Sapu Jagad?
Hehe. Terlalu skeptis ya hehe. Tapi pertanyaan itu muncul begitu saja,
tiba-tiba berhamburan bagai letup kembang api yang baru dipertemukan dengan
ujung korek gesek. Padahal aku tau ini hanyalah mitos atau mitologi, yang
dijelaskan pula oleh si penulis, bahwa sebagai makhluk beradab di peradaban
baru sudah seharusnya kita menyikapi cerita tersebut dengan cara pandang masa
kini. Hehe, tapi lagi-lagi aku masih skeptis.
Salah satu temanku yang sangat
menyukai bidang sejarah dan memiliki analisis yang tajam pun mencoba membantuk
keluar dari kebuntuan di otak akibat skeptis berlebihan ini.
Menurut teman saya, cerita
Sutawijaya tersebut memiliki nada yang sama dengan cerita yang pernah ia pernah
pada sebuah buku berjudul “Sejarah Indonesia Modern” sebuah terjemahan dari
karya M.C. Ricklefs seorang peneliti dari Australian National University. Dalam
buku tersebut M.C. Ricklefs menyampaikan cerita kelahiran kerajaan-kerajaan di
Nusantara, salah satunya Samudrapasai. Dikisahkan bahwa raja pertama
Samudrapasai bermimpi dipegang kepalanya oleh Nabi Muhammad lalu seketika ia
mampu menghafal Al-Quran dan melegitimasi dirinya sebagai seseorang yang
ditunjuk Allah untuk menjadi Raja.
Singkatnya, temanku ini
menyampaikan analisisnya bahwa cerita-cerita jaman dahulu selalu menggunakan
religius magis (istilah dalam bahasa hukum adat) untuk melegitimasi kekuasaan.
Sutawijaya melegitimasi kekuasaannya di Kerajaan Mataram menggunakan cerita
tentang pernikahannya dengan Nyi Roro Kidul, sedangkan Raja Samudera Pasai
melegitimasi dirinya dengan menggunakan cerita tentang mimpi bertemu Nabi. Keduanya memiliki nada dan corak cerita yang
sama.
Replikas Gunung Merapi dengan Simulasi letusannya |
Pintu Masuk atau Bagian Depan Museum Gunung Merapi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?