2 Mei 2017

Mitologi Merapi

Mitologi Merapi

Menghabiskan long weekend di Kota Budaya Jogja tentu saja bagiku tak pernah membosankan. Beruntung sekali aku berkesempatan domisili di Provinsi ini. Setelah beberapa saat lalu memilih untuk jalan-jalan ke Puncak Suroloyo sebagaimana sempat kuceritakan melalui caption di Instagramku adalah tempat bertapa Pangeran Diponegoro, dan hingga kini masih menjadi tempat dilakukannya upacara adat tiap malam 1 Suro. Berbeda dengan minggu ini, aku dan temanku memilih untuk berjalan-jalan ke Museum Gunung Merapi.

Terdengar membosankan ya? “Anak muda jalan-jalan kok ke museum? Mau jadi ahli sejarah po?” begitu barangkali pertanyaan yang dilontarkan sebagian orang jika dituliskan dalam logat khas jogja.
Tapi bagi kami, sejarah itu hal yang tak hanya melulu perlu dijamah oleh orang tua saja, sejarah adalah bagimana kita mengetahui dan belajar dari masa lalu untuk kemudian menjadi lebih baik dimasa kini dan masa depan. Bahkan karena ketertarikan dengan hal-hal berbau sejarah yang cukup besar, kami memiliki cita-cita yang terdengar sedikit utopis tapi sungguh ingin kami wujudkan yakni menjadi penyokong utama dalam hal dana untuk pembangunan museum indonesia berkelas internasional. Hehehhe. Tak salah kan bermimpi besar?

Jalur yang tempuh mudah saja, yakni mengikuti sepanjang Jalan Kaliurang, lalu belok ke kiri. Kami sebagai perantau mudah menemukan lokasi ini tentu saja karena berbekal petunjuk Google Maps. Kami hanya perlu membayar tiket sebesar 5000 rupiah saja, untuk dapat menyelam dalam lautan sejarah meletusnya gunung merapi dan juga gunung-gunung yang lain. Nah... ini sisi menariknya, meskipun bernama Museum Gunung Merapi, tapi museum ini juga memberikan informasi terkait gunung-gunung di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Terbaik memang.

Pada bagian pintu masuk, kami akan disuguhi dengan replika Gunung Berapi yang nampak sungguh megah. Replika ini dilengkapi dengan 4 tombol, 1 tombol berwarna merah dan tiga lainnya berwarna hijau. Satu tombol merah diberi keterangan “Narasi”, tentu saja sesuai dengan fungsinya, yakni ketika kita tekan tombolnya maka akan terdengar narasi penjelasan meletusnya gunung merapi. Sedangkan, tiga tombol hijau lainnya bertuliskan masing-masing tahun meletusnya Gunung Merapi, yang jika kita tekan maka replika akan bergetar dan mengeluarkan suara menggelegar lengkap dengan keluarnya asap dari bagian puncak replika Gunung Merapi.

Selanjutnya.. perjalanan kami pun dimulai dengan menyusuri museum dari bagian kanan memutar ke arah kiri museum.
Ada hal yang menarik kami jumpai, yakni lukisan dari Aloysius Heri, ia memberikan keterangan atas dirinya dalam lukisan tersebut sebagai seorang Petani dan Pelukis.
Lukisan itu cukup besar, berbentuk persegi panjang. Pada bagian kiri lukisan nampak gunung merapi lengkap dengan laharnya yang memerah dan seolah membakar manusia-manusia. Sedangkan di sisi kiri, ada lautan dan ombak yang membuncah dan memporak porandakan sekitarnya. Yang menarik, dibagian tengahnya ada gambar Keraton Yogyakarta yang terlindungi oleh sebuah lingkaran transparan. Awalnya kami hanya menerka-nerka, namun terkaan kami segera dijawab oleh keterangan tulisan yang terletak dibagian bawah lukisan tersebut.

“Banyak mitos yang berkembang di masyarakat terutama yang tinggal di sekitar lereng merapi. Yang paling menonjol adalah keberadaan Eyang Sapu Jagad, sosok gaib penunggu Gunung Merapi. Berbicara tentang Eyang Sapu Jagad tidak dapat dilepaskan dari Kanjeng Ratu Kidul, sosok gaib penunggu Laut Selatan.
Berawal dari Sutawijaya (kemudian bergelar Panembahan Senopati) anak dari Ki Ageng Pemanahan, bertapa di panta laut selatan. Dalam laku tapa tersebut Sutawijaya bertemu, berkenalan, saling jatuh cinta dan menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sutawijaya mengutarakan niatnya untuk membangun kerajaan baru. Singkat cerita, Kanjeng Ratu Kidul berkenan membantu dengan sepenuh hati. Sebagai tanda kesungguhan dan cintanya, Kanjeng Ratu Kidul menghadiahi “Ndhog Jagad” yang kemudian dititipkan kepada Kyai Sapu Jagad.
Apa yang ingin disampaikan dari mitologi diatas adalah bahwa Sapu Jagad berarti menyapu jagad, sapunya jagad dunia. Jagad yang dimaksud adlah diri pribadi manusia, jagad cilik dunia kecil (mikrokosmos) dengan demikian sapu jagad adalah konsep spiritualistis dalam kesadaran membersihkan diri pribadi, hati dan pikiran. Sedang Kanjeng Ratu Kidul berasal dari kata “rat” yang berarti maha luas, tak terbatas. Ide, pemikiran pemikiran manusia sering kali tak terbatas, untuk itu dalam mewujudkan itu dalam keterbatasan diperlukan batasan-batasan berupa simbol untuk mewujudkan, membumikan ide, gagasan manusia. Endhog Jagad, endhog berarti telur sifatnya embriotik, bakal. Apa yang dilakukan Suta Wijaya adalah mentranplantasi sebuah gagasan abstrak kedalam realita melalui pergulatan batin, bersih diri, dan akhirnya mendapatkan pencerahan, maka dia berdiri di barisan paling depan untuk mewujudkan berdirinya kerajaan baru Mataram. Eksistensi Mataram saat itu boleh jadi karena tuntutan kebutuhan, kebutuhan akan perlunya “peradaban baru”.
Mitologo Merapi Laut Selatan sudah saatnya kita sikapi dengan cara pandang modern, kita perlu menenggelamkan dan memperabukan pemikiran dan cara pandang lama, mengganti dengan yang baru. Dengan niat sungguh-sungguh, hati bersih, sepi ing pamrih rame ing gawe, kita akan mampu memamfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di Gunung Merapi maupun Laut Selatan untuk kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian layaklah kita disebut sebagai manusia beradab yang hidup di dalam peradaban baru.
Aloysius Heri – petani, pelukis”

Demikian paragraf demi paragraf yang coba ditulis untuk menggambarkan sejarah Gunung Merapi dan kaitannya dengan Keraton juga Pantai Selatan. Menarik sekali membacanya, namun tulisan tersebut justru menimbulkan sederet pertanyaan yang berjajar panjang dibalik kepala ini. Apa fungsi Ndhog Jagad? Kenapa Kanjeng Ratu Kidul menghadiahkan hal tersebut sebagai bukti kesungguhannya? Kenapa pula Ndhog Jagad harus dititipkan pada Kyai Sapu Jagad? Kenapa pada bagian awal, penulis menyebutkan Eyang Sapu Jagad dan pada paragraf selanjutnya menyebut dengan Kyai Sapu Jagad? Hehe. Terlalu skeptis ya hehe. Tapi pertanyaan itu muncul begitu saja, tiba-tiba berhamburan bagai letup kembang api yang baru dipertemukan dengan ujung korek gesek. Padahal aku tau ini hanyalah mitos atau mitologi, yang dijelaskan pula oleh si penulis, bahwa sebagai makhluk beradab di peradaban baru sudah seharusnya kita menyikapi cerita tersebut dengan cara pandang masa kini. Hehe, tapi lagi-lagi aku masih skeptis.

Salah satu temanku yang sangat menyukai bidang sejarah dan memiliki analisis yang tajam pun mencoba membantuk keluar dari kebuntuan di otak akibat skeptis berlebihan ini.
Menurut teman saya, cerita Sutawijaya tersebut memiliki nada yang sama dengan cerita yang pernah ia pernah pada sebuah buku berjudul “Sejarah Indonesia Modern” sebuah terjemahan dari karya M.C. Ricklefs seorang peneliti dari Australian National University. Dalam buku tersebut M.C. Ricklefs menyampaikan cerita kelahiran kerajaan-kerajaan di Nusantara, salah satunya Samudrapasai. Dikisahkan bahwa raja pertama Samudrapasai bermimpi dipegang kepalanya oleh Nabi Muhammad lalu seketika ia mampu menghafal Al-Quran dan melegitimasi dirinya sebagai seseorang yang ditunjuk Allah untuk menjadi Raja.

Singkatnya, temanku ini menyampaikan analisisnya bahwa cerita-cerita jaman dahulu selalu menggunakan religius magis (istilah dalam bahasa hukum adat) untuk melegitimasi kekuasaan. Sutawijaya melegitimasi kekuasaannya di Kerajaan Mataram menggunakan cerita tentang pernikahannya dengan Nyi Roro Kidul, sedangkan Raja Samudera Pasai melegitimasi dirinya dengan menggunakan cerita tentang mimpi bertemu Nabi.  Keduanya memiliki nada dan corak cerita yang sama. 

Replikas Gunung Merapi dengan Simulasi letusannya
Pintu Masuk atau Bagian Depan Museum Gunung Merapi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?