Waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi, namun
semua urusan domestik di kos-kosan sudah rampung ku kerjakan. Masih ada 2,5 jam
lagi menuju kelas pertama hari Kamis ini, kelas Metode Penelitian Komunikasi
Kuantitatif. Aku putuskan berangkat saja ke kampus yang jaraknya hanya 2
kilometer dari kos ku. “Lebih baik segera beranjak dari ruang kecil 3x3 meter
ini dan berangkat ke kampus, daripada virus malas lebih dulu lengket di mataku
hingga membuat kantuk tak tertahan dan imaji mengubah kasur mungilku bak lautan
kapas yang siap menenggelamkan dalam empuk dan hangat” pikirku panjang.
Kurekatkan tali tasku, dan kumantapkan langkah kaki.
15 menit kemudian aku sampai di ruang kelas yang masih
gelap, rupanya tak ada kelas sebelum pukul 10, sehingga kelas masih belum
digunakan sejak pagi. Kunyalakan lampu berikut pendingin ruangan, ya... kita
akan selalu sepakat bahwa Jogja lebih “hangat” dari Malang. Itu jelas, hehe.
“Mmm...” aku merapatkan bibir sebentar sambil mengamati
seisi tasku setelah sebelumnya aku memilih tempat duduk yang nyaman dan membuka
tas. “Yang mana dulu ya?” aku tengah memilih beberapa buku yang kubawa, ada
yang tebal berjudul Metode Penelitian Kuantitatif, yang agak tebal berjudul
“The Political Economic of Communication” karya Vincent Mosco dan yang paling
tipis berjudul “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains” karya Thomas Kuhn. Masih
berpikir, namun sejenak setelah menggeser-geser isi tas, aku menemukan buku
yang dari sampulnya saja sudah membuatku menjatuhkan pilihan dengan segera “Kubaca
yang ini saja” bisikku sambil menarik buku berjudul “Menata Kala” karya
Khairunnisa Sy dan Novie Ocktavianie. Jujur saja ini pertama kalinya aku
membaca tulisan keduanya, dan kelak aku tau bahwa buku bersampul ungu muda itu
memanglah buku pertama dari dua orang ini yang diterbitkan secara self publishing! “Menarik” gumamku.
Tentu saja aku berani menyimpulkannya menjadi satu kata itu bahkan sebelum
selesai membuka lembar kata pengantar, sebab membuat buku memanglah satu impian
besarku dulu. Duluuuuu sekali, kala masih berseragam rok biru tua dan berlarian
dengan wajah blaster. Ya, blaster kutekankan, bukan blasteran. Sebab anak SMP
lebih suka main dibawah terik, sehingga bagian wajahku akan terlihat lebih
hitam daripada bagian leher atau dekat telinga yang tertutup jilbab. Hahah!
Masa itu... di masa blaster itu, aku punya mimpi besar seperti lahirnya buku
dalam genggamanku ini. Namun kenapa aku kini merasa semakin kerdil, mungil, dan
terus berusaha menyederhanakan mimpi-mimpi besarku dengan dalih “realistis”.
Aku buka Bab pertama, berjudul “Kala bersama diri sendiri”.
Kurapatkan kakiku dan kubenahi posisi duduk agar lebih nyaman. Aku siap
berselancar dalam lautan pemikiran kedua penulis ini, berenang ditengah ombak
kata yang riuh rendah dan merebah diatas pasir nasihat yang hangat.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda? What do you think?