11 Juli 2011

Teens and they family

Aku ingin cepat pulang, menciptakan duniaku sendiri.
Terkadang, dalam relung hati sang ceria atau si gaduh tentu dia butuh ruang dan tempat untuk menyepi. Setiap orang pasti akan jenuh dengan kehidupannya yang melulu begitu. Mungkin seperti yang aku alami sendiri, aku bukanlah orang dikatakan pendiam pemalu tertutup dan lain sebagainya, jadi lebih jelasnya aku ini orang yang suka bicara dan duniaku sarat akan keramaian. Tapi siapapun kalian yang membaca ini, kalian harus tahu bahwa semua orang membutuhkan waktu untuk sejenak rehat dan tenang. Istirahat dari bicara, istirahat dari ramai, bising, gaduh, gegap gempita dan lain sebagainya.
Terkadang, jika hal itu datang tiba-tiba maka akan sangat menggangguku dan membuatku dilema. Aku dengan duniaku yang ramai, harus mendadak berubah menjadi sepi sunyi kamar dan merenung sendirian dengan beberapa denting lagu dari mp3 handphone atau membiarkan tangan dan jari jemariku berkolaborasi dengan keyboard laptop lalu memuntahkan semua gelisahku seperti saat ini. Jadi, maklum saja jika tulisanku ini belepotan tak karuan, karena ini memang kutulis apa adanya. Hampir seperti diary saja.
Terkadang aku tak nyaman, terkadang jiwa ini jenuh dan jengah, harus terus menjadi gembira dan tak kenal lelah bicara. Kenapa hidup di dunia remaja kadang kala begitu menyiksa. Harus dihadapkan dengan teman-teman yang tak sepemikiran, harus dihadapkan dengan si egois, dengan si kurang ajar, si cinta, dan si si lainnya.
Saat aku mulai berpikiran seperti itu, satu yang langsung muncul diotakku. Bukan curhat ke pacar, karena memang aku tak punya. Bukan pula curhat ke sahabat, karena kurasa aku tak begitu percaya manusia. Bukan juga menangis di kamar mandi sekolah dan kuyakin itu melankolis sekali, gaya itu sudah dilakukan di berbagai adegan film remaja, dan kurasa itu sudah basi.
Satu yang aku lakukan, yaitu pulang.
Entah kenapa kurasa tak ada tempat sedamai dirumah. Tiada tempat paling aman selain rumah, aman dari cakaran-cakaran mulut penggosip, aman dari cercaan orang tukang kritik, dan lain sebagainya. Saat menginjakkan kakiku dirumah, kurasa semua penatku hilang. Melihat bapak, Ibu, adikku, semua menyambut dengan senyum bahagia yang seolah memberiku kenyamanan dan perlindungan. Merekalah yang sesungguhnya benar-benar patut kupercaya, merekalah keluargaku. Tapi beda lagi, jika suasana sedang kurang enak, tentu akan terasa lain memandang ibuku yang sedang memasang muka cemburut, Bapakku yang juga kurang enak badan dan mendadak sewot, atau juga adikku yang tak perduli dengan kedatanganku dan malah lari pergi bermain. Terlepas dari itu semua, it’s no problem! Mereka keluargaku, seberapa marahpun mereka, sebentar lagi juga sudah baikan, dan suasana akan kembali menjadi menyenangkan.
Bayangkan jika yang memasang muka sewot dan cemberut itu adalah temanmu, apa yang akan kau lakukan? Mungkin kau akan memaafkan dan mungkin juga sama, suasana akan kembali normal. Tapi bukankah itu akan lebih kau ingat daripada muka cemberut Ibumu? Orang lain tetap orang lain, bagaimanapun mereka jauh lebih mudah membuat hati kita tersayat dan lukanya pun tidak dengan mudah menjadi sembuh.
Namun kini, kurasa anggapan bahwa ”rumah adalah tempat ter-aman” tak lagi ada dibenak para remaja. Mereka sudah memusnahkan paradigma itu, dan malah menggubahnya menjadi anggapan bahwa ”rumah adalah lubang neraka”.
Mereka bilang, tiap memasuki pintu rumah maka akan ada sejuta nasihat dan peringatan yang menghujani mereka. Akan ada sedikit olokan atas sikap dan perilaku yang kurang ajar dan melenceng dari norma. Dan akan ada beberapa omelan, yang membuat mereka lebih betah diluar rumah dan memilih nongkrong dengan teman yang mereka rasa tak pernah melakukan itu.
Ya, aku sebagai remaja terkadang juga merasakan itu, tapi siapa bilang?
Mungkin singkat kata memang benar. Temanmu sepermainan tak akan pernah mengolok masalah rutinitas burukmu akhir-akhir ini yaitu merokok dan menghambur-hamburkan uang, justru sebagian besar mereka mendukungmu, karena dengan kamu yang menghambur-hamburkan uang, mereka juga yang akan merasakan bagiannya. Teman sepermainanmu juga tidak akan menasihatimu masalah ibadah dan sholat karena mungkin mereka sendiri juga jarang melaksanakannya, sepertinya memang klop kan?
Namun, dibalik mereka yang seolah selalu sejalan dengan pemikiranmu dan selalu mengiyakan semua tingkah lakumu, dan lagi tak pernah sok menasihatimu, apa kau yakin mereka tak pernah menggosipkan, membicarakan, menggunjingkan dirimu dibelakangmu dengan teman yang lain tentang sikapmu? yang mungkin kurang klop dengan mereka. Tentang sikap semaumu, sikap egoismu, dan mungkin tentang kebiasaan jorokmu? Apa kau yakin jika mereka akan selalu baik denganmu, akan selalu membenarkanmu, dan selamanya menjadi kawan sejatimu? Yakin kah?
Coba tengok lagi orang tuamu dan keluargamu dirumah tadi, lagi-lagi pertanyaan: mungkinkah mereka menggunjingkanmu dengan orang lain (red:selain orang rumah/keluarga batih)? Mungkinkah itu? Bukan kah sudah gila jika Ibumu membicarakan aibmu pada tetangganya, rekan kerjanya, atau pada kakak iparnya? Mungkinkah orang tuamu dengan tega menggunjingkan kebiasaan burukmu minum minuman keras atau kebiasaan burukmu pulang larut malam, pada momen arisan kampung? Mungkinkah adik kandungmu sendiri menceritakan hal-hal burukmu pada teman sepermainannya? Tidak mungkin! Non sense! Kemungkin itu sangat kecil, jika memang iya terjadi.
Itulah salah satu tanda bahwa mereka benar-benar menyayangimu. Itulah salah satu bukti bahwa mereka masih menganggapmu ada walau seburuk apapun dirimu. Itulah bukti bahwa mereka mengganggapmu anggota keluarga mereka, dan mereka akan melindungimu dari orang lain. Mereka menganggap kamu adalah mereka dan mereka adalah kamu, begitupula aib mu adalah aib mereka dan aib mereka adalah aib mu dan itulah sebabnya Tuhan menciptakan keluarga, yaitu untuk saling menjaga dan menyayangi satu sama lainnya.


Hamidah izzatu laily
14 juni 2011
06:52 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?