18 Agustus 2011

 What Happen Indonesia?
oleh: Hamidah Izzatu Laily


 Perlahan kususuri jalanan yang becek berlumpur, dalam perjalanan menuju pos kamling, tanpa tenaga dan tanpa gairah. Pandanganku berlari menuju ke atap langit, disana tergantung sebuah bulan yang hanya separuh.
Kulompatkan pandanganku dari langit menuju sebuah pelataran sempit dikiri jalan. Beranda yang berantakan, dengan barang-barang pecah yang porak-poranda. Dari depan, rumah itu masih terlihat normal. Namun jika ditengok sedikit kebelakang, maka akan kau temukan sebuah dapur dengan temboknya yang hitam legam penuh abu dan sudah jebol tak karuan.
Itu rumah majikan Tutik, seorang wanita paruh baya yang menjadi perawan tua.
Setahuku, sepanjang hidupnya, hanya dihabiskan didalam dapur rumah itu, menjadi pembantu rumah tangga. Namun dua hari lalu, profesi itu sudah ditanggalkannya, kini dia menjabat sebagai pasien rumah sakit tepatnya di ruang unit gawat darurat. Semua itu karena elpiji tiga kilogram yang menjadikan hidupnya mendadak berubah drastis.
”Buh...” kuhembuskan nafas panjang sambil sesekali menendangi kerikil-kerikil tajam yang menghiasi jalanan.
Nafas panjang tadi adalah sebuah keluhan, sebuah aduan kepada Tuhan. Bukan nafasku sebenarnya, aku hanya wakil dari sejuta nafas-nafas yang ingin menghembuskan nafas seperti itu namun belum sempat. Merekalah sang korban, merekalah yang sedang menghujani pipi mereka dengan air mata dan tangis histeris yang menyayat hati.
Sudah lima korban di desa ini, sedangkan yang aku tahu dari berita sudah lebih dari lima puluh korban diseluruh Indonesia selama dua bulan terakhir. Ini benar-benar bencana besar, bukan bencana sembarang bencana. Lebih ganas daripada bencana banjir yang datang rutin setiap tahunnya. Mereka adalah korban-korban dari gas elpiji tiga kilogram yang sedang sakit jiwa dan meradang.
Lima korban di desa tadi kebetulan masih teman baikku. Baru tadi sore aku menjenguk dua dari lima korban sekaligus. Yang pertama aku menjenguknya dirumah sakit, dan yang kedua aku menjenguknya di kuburan.
”Hhhh...” aku mendesis, bulu kudukku bergidik, seketika membayangkan suasana makam tadi sore.
Dan tak terasa perjalanan ku terhenti, aku sudah sampai di markas besarku sebagai hansip, pos kamling. Kucopot topi hansip berwarna kuning jambu yang sudah memudar dan jamuran itu, yang sedari tadi nangkring diatas kepalaku.
“Aneh, kenapa bencana terus beruntun menimpa negeri ini? Gas elpiji itu yang baru-baru ini. Lha yang dulu-dulu, gempa, kebakaran, tsunami,Situ Gintung, lumpur Sidoarjo, kapal terbang jatuh, kapal laut tenggelam. Lalu apa lagi habis ini?” gumamku sendiri dalam malam yang gelap dan lengang. Malam yang benar-benar lengang, sampai-sampai tak ada jawaban dari pertanyaanku yang entah kutanyakan pada siapa itu.
Semua seakan terhempas oleh hawa kematian yang menyesakkan dada. Diam-diam bencana itu telah menelan korban demi korban, telah merajam dengan pelan satu per satu kehidupan manusia . Diam-diam selama ini kita tak menyadari, mungkin saja bencana-bencana itu sedang mengintai kita dengan seksama, dan siap untuk menerkam kita sewaktu-waktu.
”Dor! Nglamun aja, Jo” gertak Gito, partner rondaku malam ini, yang sontak membuatku berjingkat dan kaget setengah mati.
”Wadoh dooh, kaget semprul!” aku melototkan mataku, tanda tak setuju dengan gertakan Gito.
”Hehe, nglamun apa Jo? Serius amat”
“Yang jelas bukan nglamunin kamu” jawab ku sewot.
”Hem... marah, datang bulan ya? Hahaha” Gito bicara ngawur.
”Heh, wo... bocah edan! Aku ini sedang mikirin Tutik, yang dua hari lalu kena ledakan gas elpiji dirumah juragannya itu lho.”
”O..., lha terus kenapa?”
”Em...” aku belum menjawab pertanyaan Gito. ”Kamu ngerasa aneh gak To?” aku melirik Gito yang sudah asyik dengan ketela bakarnya, yang sedari datang tadi sudah ditentengnya dengan penuh semangat.
”Aneh? Enggak. Satu-satunya yang aneh di dunia ini ya kamu, Jo. Hehe” Gito terkekeh lagi, sembari sibuk mengupas ketelanya yang terlihat masih mengepulkan asap panas.
”Nah kan, pancen kowe iki edan!”
”Lha aneh sama apanya?” Gito menjawab dengan sedikit waras kali ini.
”Sama negeri kita ini. Kenapa ya, kok bencana nggak ada spasinya?”
Gito tak lekas menjawab, dia sedang mengunyah ketelanya dengan serius. Kupandangi saja temanku ini. Namun lekas kualihkan mataku pada objek yang lain, setelah sadar bahwa masih banyak yang lebih baik dari melihat Gito yang sedang makan ketela, dengan mulutnya yang belepotan dan bibir tebalnya yang kepanasan tak karuan.
”Haha, jelas gak ada spasinya, orang komputer aja ndak punya.” tawa Gito meledak tanpa sungkan. ”Heh Jo, kamu tahu, kenapa bencananya itu nggak mau berhenti? Simpel jawabannya, karena dia masih lapar! Nggak ada yang buat makan, lha wong beras mahal, cabe naik, minyak tanah langka, elpiji meledak mulu bikin ngeri, BLT ngadat gak jelas dan gak karuan. Nah lho, tau kan sebabnya?” Lanjut Gito sekenanya, setelah memastikan dia sudah menelan ketela bakar yang ada dimulutnya.
”Masak sih?” kugaruk kepalaku yang tak gatal. ”Walah, kamu ini ngawur. Ditanya serius, kok nglantur sih jawabnya! Hari ini kamu kalah togel lagi ya?” ungkapku sedikit kesal, tak puas dengan jawaban dari lelaki bertubuh gemuk ini.
”Nah! Itu dia jawabannya. Bener apa katamu barusan” Gito menunjuk-nunjuk mukaku.
”Apaan?”
”Ya itu tadi jawabannya. Yang ngebuat negeri kita ditimpa bencana terus. Ya itu, togel.” lanjut Gito, kini sambil meniupi ketelanya, yang dirasa mungkin terlalu panas dimakan.
”Lho, apa sangkut pautnya sama togel?” tanyaku, jawabannya makin membuatku penasaran, hingga harus kukejar jawabannya yang jelas, sejelas-jelasnya.
”Yah..., nggak lain dan nggak salah itu karena kita-kita juga”
”Kok, kita To?”
”Waduh, ngomong sama kamu itu susah Jo, dasar orang susah! Itu semua karena kita hobi main togel, padahal togel kan haram. Ya kan? Ya tho? Hahaha” ujar Gito dilanjutkan dengan ledakan tawa yang terbahak-bahak dan hampir membuatnya tersedak.
”O..., aku kok nggak kepikiran sama sekali ya?” kataku sambil manggut-manggut. ”Lalu, kalo udah tau togel haram, kenapa masih main?” lanjutku.
”Ya, untuk makan Jo, aneh-aneh aja pertanyaanmu ini. Masak buat kawin lagi, kan poligami. Rakyat jelata ora pantes poligami, yang pantes itu Aa’ Gym. Istri satu sama anak satu aja belum tentu sehari bisa makan tiga kali, gimana mau dua istri? Wah, bisa jebol kepalaku.”
Aku masih tetap manggut-manggut, sambil memandangi pria dengan kumis kucing yang tipis tak terawat ini. Dia mulai sedikit menanggapi pertanyaan-pertanyaanku, walaupun masih dengan jawaban yang kurang waras.
”Kok bawa-bawa Aa’ Gym segala? Pamali lho ngatain ustadz besar kayak beliau.” aku mengingatkan.
Weleh, pamali opo? Kamu ini sok alim, gaya! Orang sholat wajib aja bolong-bolong kok sok-sok takut sama ustadz. Takut dulu sama Allah, baru takut sama manusia!” Gito balik mengingatkanku, dengan kalimatnya yang spontan, dan terlalu apa adanya. Sampai terkadang dia tak berpikir dua kali dulu, apa mungkin kalimatnya melukai orang lain atau tidak.
Suasana menghening tiba-tiba. Tak ada jawaban dariku, ataupun lanjutan kalimat dari Gito. Aku memang sedang malu dengan olokan Gito barusan, tapi disisi lain itu memang aku, kenapa aku harus malu jika aku berani melakukannya. Itu konsekuensi, Jo.
”Memangnya kamu sendiri sholat?” akhirnya aku mengeluarkan suara.
”Enggak juga”
”Maksudnya enggak juga?”
”Enggak sama sekali. Ya..., cuma sekali pas idul fitri”
“Nah gitu kok ngejek orang” aku mencibir.
”Aku ini sibuk nyari duit Jo. Seharian pontang-panting ke sawah, buruh tani, ya parkir, ya cuci mobilnya orang-orang, pokoknya gimana caranya sehari ini aku dan keluargaku bisa makan sampai kenyang. Dan juga gimana caranya supaya anakku bisa terus sekolah, biar gak goblok kayak bapaknya ini. Kalo ngandalin BOS itu nggak ada kepastian. Selama ini cuman gembar-gembor sekolah gratis, nyatanya... nggak ada yang gratis didunia ini, sampe saat ini.” 
”Sama aja sih, To. Kita ini memang cuma rakyat jelata” aku ikut larut dalam naskah cerita hidup Gito.
”Kalo aja ada yang bisa dikorupsi, kenapa enggak ya Jo?” kini Gito sedang bicara sambil melamun.
”Hus, kamu ini ngawur aja, To” aku melototinya, tapi dia tak melihatku.
”Lho, memangnya kenapa? Tikus aja pinter korupsi kok!” Gito membela diri.
”Tikus?” lagi-lagi aku tak paham maksud omongan Gito.
”Iya, tikus berdasi, yang duduk sambil korupsi.”
”O...” aku hanya membulatkan mulut. Kali ini paham dengan maksud Gito. ”Sebenernya togel sama korupsi itu sama, ya kan?”
”Ah, kata siapa? Apa samanya?”
”Sama-sama uang haram tho?”
Tak ada jawaban dari Gito, dia diam dan kini malah meraih sebuah radio dipojok pos kamling. Menyalakannya dan hidup, kemudian dia mengkocok-kocok radio usang itu.
”Nggak taulah, Jo. Yang aku pikir sih aku sudah cari uang, ya sudah. Bisa makan, yo uwes. Daripada anak istriku busung lapar, terus mati kelaparan. Gini-gini jadi seorang Bapak aku sudah tanggung jawab, iya kan?” lanjut Gito yang akhirnya menjawab pertanyaan ku.
”Hem...” aku manggut-manggut, ”Kalo koruptor itu korupsi buat apa ya? Apa juga buat menghidupi anak istrinya yang seharian terancam gak makan dan hampir mati busung lapar?”
Yo emboh!” Gito mengangkat bahunya. Sudah tak perduli lagi dengan pertanyaan ku yang sedari tadi bagai kereta api ekonomi jurusan stasiun gambir yang tak bisa direm. Lalu Gito mengambil posisi terlentang diatas karpet, setelah menemukan gelombang radio yang paling jernih suaranya, diantara gelombang-gelombang radio lainnya.
”Besan orang nomor satu di Indonesia inipun sudah dapat menghirup udara bebas, setelah sempat dipenjara karena kasus korupsi seratus miliar rupiah. Menurut beberapa pengamat politik yang sempat kami wawancarai tadi siang, hal ini sangat disayangkan, kenapa keadilan begitu mahal” terdengar sayup-sayup suara pembaca berita dari dalam radio yang dinyalakan Gito barusan.
”Hoah..., lagi-lagi kasus korupsi. Panjang umur bener, baru juga dibicarain, eh... udah nongol” ungkap Gito penuh keluh, kemudian mematikan radio itu dengan kesal. Rupanya dia sudah benar-benar jenuh dengan pembahasan seputar korupsi yang itu-itu saja.
Aku terdiam dalam susunan pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab. Gito terdiam dalam kelelahannya yang memuncak setelah seharian bekerja serabutan. Radio itupun juga terdiam, setelah dimatikan oleh tangan Gito, dan setelah sempat menyampaikan berita tentang yang itu, itu, dan itu-itu lagi kepada telinga-telinga kami.
Suasana beranjak menghening. Hening diantara ratusan tikus-tikus jalang yang berpesta ria tanpa dosa. Ditengah kepedihan Indonesia menahan luka yang tak kunjung reda. Kami berdua saling merenung dalam duka dan jerit rakyat jelata yang hanya sibuk ditakutkan dengan kelaparan.
Diatas tanah basah bercampur lumpur, dibawah langit dipenuhi gemuruh prahara ini, kami yakin Tuhan tak tidur, kami yakin Tuhan melihat. Melihat kami yang terhimpit dalam kenyataan yang pedih dan perih. Yang tak bisa memilih, karena tak ada pilihan.
Ya Tuhan, maafkan kami jika tak berada lurus di jalan-Mu. Namun setidaknya Engkau tahu, ini karena keterbatasan, kami lakukan ini untuk hidup kami dan keluarga. Namun pasti Engkau Maha Mengetahui, apa yang hari ini kami makan, bukanlah apa yang seharusnya dimakan orang lain.


Untuk Indonesia ku, kenyataan hidup ini memang pahit,tapi "kita" harus menerimanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? What do you think?